BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Dengan
ditandainya lengsernya presiden Soekarno
sebagai presiden seumur hidup, karena peristiwa Gerakan 30 September yang
dilakukan oleh PKI sehingga terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap
anggota PKI diberbagai daerah di Indonesia. Kemudian Soekarno dituntut untuk
menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih kita kenal dengan
sebutan Supersemar yang berisikan tentang perintah kepada Jendral Soeharto
untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan
melindungi Soekarno sebagai Presiden. Kemudian surat itu diartikan sebagai
media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh untuk mengambil alih
kekuasaan yang ada di Negara RI
Selanjutnya
orde baru dikukuhkan dengan sebuah sidang MPR yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
beserta ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Pada permulaan pemerintahan orba banyak hal-hal
yang dilakukan untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi
penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah.
Pada masa pemrintahan
orba banyak terjadi masalah-masalah yang mungkin oleh orang awam tidak
diketahui akan tetapi banyak juga penyelamatan masalah-masalah yang diwariskan
pada zaman orde baru oleh pemerintahan pada zaman orde lama . Pada zaman ini
banyak sekali pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan tidak
sedikit yang berhasil. Maka zaman orba sering disebut juga zaman pembangunan.
b. Tujuan penulisan
1. Memberikan
pemahaman tentantang uraian proses terjadinya pemerintahan orde baru
2. Memberikan
gambaran tentang rezim kekuasaan pemerintahan orde baru
3. Memberikan
penjelasan tentang pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru baik dalam
bidang politik,ekonomi,sosial,masyarakat dan kebudayaan sampai pada awal
keruntuhan kekuasaan orde baru
BAB II
PEMBAHASAN
1.Gambaran
umum
Orde
baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara masa kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) dengan
masa kepemimpinan Soeharto. ( orde
baru ) Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI
tahun 1965.
Orde
baru muncul ditandai dengan lengsernya presiden Soekarno sebagai presiden
seumur hidup karena peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI
sehingga terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap anggota PKI diberbagai
daerah di Indonesia. Sehingga Soekarno dituntut untuk menandatangani Surat
Perintah Sebelas Maret atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Supersemar
yang berisikan tentang perintah kepada Jendral Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Kemudian surat itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada
Soeharto secara penuh.
Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas
dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan
bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan
berusaha untuk menyusun kembalikekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas
nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Melalui Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966,
Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya
muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163
tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut
Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan
kabinet. Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966,
jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai
perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang
disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan
kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967.
Pada 10 Januari 1967. Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato
pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara tidak diterima oleh MPRS
berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Pebruari
diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan
Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret1967, yang secara resmi
mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan
mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telahmenyebabkan terjadinya
instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret1968
Soeharto diangkat sebagai presiden republik Indonesia berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XLIV/MPRS/1968,
Presiden
Soeharto memulai kepemimpinanya ( Orde Baru ) dalam dunia politik Indonesia
setelah menjadi jendral TNI dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Pada tahun 1968, MPR secara resmi
melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998
Orde
Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela di negara Indonesia. Selain itu, kesenjangan
antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada permulaan pemerintahan orde baru banyak
hal-hal yang dilakukan untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % . Hal itu menjadi penyebab
kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah
Orde
Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer.
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal
ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian
PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan
daerah.
Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya
stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan
ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital
internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
Pada
masa kepemimpinan soeharto ( orde baru ) pengeksploitasian sumber daya alam
yang dilakukan secara besar-besaran yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun hal itu dianggap tidak merata dikarnakan
kemiskinan pada waktu itu juga masih tinggi
1.1
upaya lahirnya pemerintahan orde baru
- Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
- Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
- Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
- Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
- Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
- Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
- Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
- Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
2.1 upaya untuk melaksanakan pemerintahan
orde baru
1. Menyusun
kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna
mempercepat
proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
2. Menetapkan
Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
3. Melaksanakan
Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga Negara
3.1
Faktor-faktor yang menjadi dasar terbentuknya lahirnya orde baru
1.
Adanya gerakan G 30 S PKI
2.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi
kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama.
3.
Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana
inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan
kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.
Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang
mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat
melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan
serta tokoh-tokohnya diadili.
5.
Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang
ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila”
yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh
yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6.
Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10
Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri
Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
7.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21
Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan
rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.
Wibawa dan kekuasaan presiden Soekarno
semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah
dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9.
Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari
solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden
mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi
LetjenSoeharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi
keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan
4.
Objek
kajian
Dalam
penulisan makalah ini penulis mengkaji tentang “ PENGARUH KEKUASAAN
PEMERINTAHAN ORDE BARU “
1.
Pengaruh
kekuasaan pemerintah orde baru
dalam
kekuasaan pemerintahan orde baru yang di pimpin oleh soeharto mulai menunjukkan
perananya dalam menjalankan roda pemerintahan, dalam kekeuasaanya orde baru
sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Indonesia .
diantara
pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru yang dapat kita ketahui antara
lain :
1.1 pengaruh terhadap bidang politik
Dalam bidang politik pengaruh
kekuasaan pemerintahan orde baru sangat
tinggi sesuai dengan upaya lahirnya pemerintahan orde baru yaitu menata kembali seluruh aspek kehidupan
rakyat dan Negara, diantara pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintahan orde
baru dalam bidang politik sebagai
berikut :
a. Adanya penataan politik dalam negri
Penataan
politik dalam negri yang dilakukan oleh pemerintah orde baru meliputi :
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Program
Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.
:
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya
dibentuk abinet baru dengan nama cabinet pembangunan dengan tujuan :
-
Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
-
Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan
Lima Tahun Tahap pertama
-
Pelaksanaan Pemilihan Umum
-
Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30
September
-
Pembersihan aparatur negara di pusat
pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI
3. Terlaksananya Pemilihan
Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
dalam pemilu 1971 ada beberapa aturan-aturan tertentu :
a. Pejabat
negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat
negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat
ikut menjadi calon partai secara formal
b. Oranisasai
politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada
dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
c. Pemilu
1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana
360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
d. Diikuti
oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi),
Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai
Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik
(3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu
kursipun).
2) pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4) pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
a. PPP
memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982
hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang
partai dari kabah menjadi bintang.
b. Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga
menjadi 299 kursi.
c. PDI
memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai
hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya :
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya :
- Golkar
memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan
kursi 325 kursi.
- PPP
mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27
kursi.
- PDI
mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR.
Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI
Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta.
Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas
LUBER(Langsung,Umum, Bebas, dan Rahasia).Kenyataannya pemilu diarahkan pada
kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok
sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut
sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan
DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban,
Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat
persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
3.
adanya Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah
pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti
menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah
partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi
tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan
sosial-politik, yaitu :
-
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai
politik Islam)
-
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
nasionalis).
-
Golongan Karya (Golkar)
b. Adanya penataan poltik luar negri bebas
aktif
Pada
masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada
jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan
nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan.
Sedangkan
upaya-upaya pemerintah dalam penerapan politik luar negri bebas aktif meliputi
:
1) Kembali menjadi anggota
PBB
Indonesia
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan komisi bidang pertahanan
keamanan dan luar negeri terhadap pemerintah
Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus
kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka
menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali
ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh
Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara
resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya
Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak
PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua
Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara
lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan
dengan beberapa Negara
a. Pemulihan hubungan dengan
Singapura
Sebelum
pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan
Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar).
Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura
pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.
Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk
mengadakan hubungan diplomatik.
b.Pemulihan hubungan dengan
Malaysia
Normalisasi
hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok
pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
1.
Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan
kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam
Federasi Malaysia.
2.
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui
pemulihan hubungan diplomatik.
3.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak
akan dihentikan.
Peresmian
persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul
Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani
persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan
perwakilan pemerintahan di masing-masing negara
c. pembekuan hubungan dengan
RRC
Pada tanggal 1 Oktober 1967
Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik
Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan karena RRC telah mencampuri
urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30 S PKI
baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[rujukan?]
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang
dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta
secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya
RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967
Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking
c. Adanya peran ganda ( dwi fungsi ) ABRI
Untuk
menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda
kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian
terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada
ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang
tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR
mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya
sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan.
Jendral nasution
( pengagas dwi
fungsi abri )
d. Adanya dinamika ketegangan politik (
jama’ah, non jama’ah, pemerintah )
Pada masa orde
baru,ketegangan politik laten yang bersifat horizontal,antara santri dan
abangan,semakin memudar. Atau, kalau pun ada, ketegangan tersebut di bawah
permukaan dan terkubur oleh berbagai peristiwa keseharian. Namun demikian, ini
tidak berarti bahwa ketegangan politik sama sekali tidak ada. Ketegangan paling
menonjol pada periode orde baru lebih bersifat vertical,yakni antara masyarakat
desa dan pemerintah.
Terdapat tiga sub-kelompok utama yang
biasanya mewakili masyarakat menentang kebijakan pemerintah. Yang pertama
adalah kelompok Muslim fanatic,kedua para pendukung Partai Persatuan
Pembangunan(PPP), dan ketiga para pendukung Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun
demekian, pada penjelasan ketegangan politik ini akan difokuskan pada
ketegangan politik antara santri dan pemerintah.Dalam hal ini, kelompok santri
terdiri dari Muslim fanatic dan para pendukung PPP.
.
Bagi pemerintah Orde Baru, antara
1966-1974 mungkin dapat dipandang sebagai masa transisi. Baru saja rezim ini
berkuasa dan kebijakan politiknya masih bersifat sementara. Sepanjang periode
itu, partai-partai politik lama-kecuali Partai Komunis Indonesia(PKI)-masih
aktif, sementara partai politik baru mulaibermunculan. Ini merupakan masa
terjadinya kebingungan politik di desa. Antara 1965-1966, wacana politik di
desa masih diwarnai berbagai perisiwa kekerasan politik. Bagi kelompok Muslim
non-jama’ah, masih ini dianggap sebagai masa ketakutan.
kelompok Muslim non-jama’ah yang
sudah tidak lagi aktif dalam gerakan PKI-merasa sangat cemas. Mereka khawatir
adanya kekerasan politik yang dilancarkan kelompok santri disekitar desa.
Mereka takut kelompok jama’ah akan membunuh seluruh penduduk desa yang tidak
melaksanakan shalat.Karena itu, beberapa orang dari kelompok Muslim non-jama’ah
bergabung dengan kelompok jama’ah di masjid untuk melaksanakan shalat. Karena
itu, beberapa orang dari kelomok Muslim non-jama’ah bergabung dengan kelompok
jama’ah di masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at dan Maghrib.Anak-anak mereka
juga bergabung dengan anak-anak kelompok jama’ah untuk mengaji bersama di
masjid atau langgar. Semua tokoh-tokoh kelompok jama’ah menerima yang bergabung
shalat berjama’ah secara terbuka. Karena itu, tidak mengherankan bahwa pada
periode ini masjid-masjid dan langgar-langgar di desa dipenuhi oleh penduduk
desa. Namun tidak semua anggota kelompok non-jama’ah bergabung dalam kegiatan
kelompok jama’ah. Banyak dari masih enggan untuk ke masjid, bahkan beberapa di
antara mereka masuk agama Kristen dan pergi ke gereja di luar desa.
Sedangkan bagi kelompok jama’ah,
periode ini dianggap sebagai masa penuh harapan.Menurut Jayadi pada 1965, masa antara 1965 sampai 1966 memang dipandang
sebagai tahun penuh harapan. Hampir seluruh kelompok jama’ah di desa
mengharapkan pemerintahan Orde Baru akan sungguh-sungguh memperhatikan
kepentingan umat Islam, karena mereka telah memainkan peranan penting dalam
menghancurkan PKI di desa (lihat Sidney Jones, 1984-30-31). Tidak bisa dipungkiri,bahwa
generasi muda Islam di desa terlibat secara langsung dalam mengeliminasi
aktivis PKI.mereka mengejar, menculik, menahan dan membunuh para aktivis PKI
yang menurut pandangan kelompok jama’ah-mengancam eksestensi Islam. Oleh karean
itu, ketika anggota Muslim non-jama’ah datang berduyun-duyun ke masjid,
kelompok santri secara terbuka menerima mereka. Banyak warga desa yang
mengaharapkan berakhirnya gangguan dan ketegangan politik.
Banyak kalangan percaya bahwa
integrasi Muslim non-jama’ah ke dalam kelompok jama’ah telah meredakan
ketegangan politik horizontal antar kelompok Muslim di desa. Ada beberapa
alasan meredamnya ketegangan politik tersebut. Pertama, PKI beserta berbagai
organisasi underbow-nya, yang telah mengorganisir beberapa orang kelompok
Muslim non-jama’ah di desa ini, dilarang pemerintah.Selain itu, para
pemimpinnya di desa juga telah dipenjara, melarikan diri atau dibunuh. Ini
berarti bahwa PKI tidak akan memobilisasi kelompok Muslim non-jama’ah. Kedua,
identitas cultural kelompok non-jama’ah yang paling penting,kepunden, telah
dihancurkan anggota jama’ah.,
kelompok non-jama’ah di desa ini
senantiasa menyelenggarakan slametan bersama setiap tahun di sekitar kepunden.
Dengan hilangnya tempat slametan
kelompok non-jama’ah, identitas cultural mereka menjadi kabur. Ketiga,
seluruh anggota non-jama’ah dan jama’ah ditarik pemerintah untuk mendukung
Golkar, partai yang disponsori pemerintah. Akibatnya, kedua kelompok ini kemudian
sama-sama berada di bawah control tokoh-tokoh teras Golkar. Hal ini berarti
bahwa ketegangan politik antara kelompok non-jama’ah dan jama’ah telah
dinetralisasi pemegang kekuasaan.
Sementara ketegangan antara kelompok
jama’ah dengan non-jama’ah dapat dinetralisir, ketegangan politik antar
kelompok jama’ah sendiri menjadi tampak, yakni antara mereka yang mendukung
partai-partai Islam (NU dan Parmusi) dengan mereka yang mendukung Golkar.
Tingkat ketegangan politik antara mereka bersifat pasang surut, tergantung
iklim politik. Ketegangan politik seperti itu umumnya muncul bersamaan dengan
masa berlangsungnya pemilu.
PSM kembali ke panggung politik
ketika partai politik baru (Golkar dan Parmusi)muncul pada masa Orde Baru.
Meski demikian, PSM terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pendukung Parmusi,
partai Islam baru, dan kelompok pendukung Golkar, partai pemerintah. Tetapi
para pendukung Parmusi perlahan-lahan lenyap karena beberapa pemimpinnya
terjebak dalam gerakan fundamentalis, Komando Jihad, yang dituding pemerintah
sebagai penentang Pancasila.Gerakan itu pada akhirnya dihapuskan pemerintah
pada pertengahan 1970-an dan pemimpinnya dipenjara.
Walaupun Golkar telah didukung oleh kelompok
jama’ah, terutama PSM, pada pemilu pertama pada masa Orde Baru,(1971), Golkar masih
menemui kesulitan dalam menguasai anggota kelompok jama’ah. Hal ini tidak hanya
karena sebagian besar pemimpin Muslim tradisional dibawah pengaruh partai Islam
NU, tetapi juga sebagian besar pemimpin pemuda Muslim modernis mendukung partai
Islam lain, Parmusi. Semua Kyai dan pemuda Muslim modernis mengklaim Golkar
sebagai partai gado-gadoyang tidak merepresentasikan kepentingan politik Islam.
Oleh Karena itu, kebanyakan anggota kelompok jama’ah menentang Golkar beserta
orang-orang yang berkampanye untuk Golkar.
komunitas Muslim jama’ah pada
permulaan Orde Baru relative aman dan dilindungi pemimpinnya. Mereka memberi
dukungan penuh pada partai Islam. Kelompok jama’ah percaya bahwa pemerintah
tidak akan memberangus partai-partai Islam karena para aktivis Muslim jama’ah
telah mendukung pemerintah dalam menghapuskan PKI. Oleh karena itu, komunitas
jama’ah pada 1971 masih merupakan kesatuan yang utuh dalam mendukung partai
Islam
Sejak 1974 sampai 1983 merupakan
masa konsolidasi politik bagi Orde Baru. Konsolidasi ini melibatkan pemerintah
dalam menata kekuasaanya melalui manuver-manuver politik guna mengurangi
kekuatan partai-partai politik, pada saat bersamaan mendukung mesin Golkar
untuk mengontrol kelompok Muslim jama’ah di setiap lapisan masyarakat.
Di tingkat nasional, di antara
maneuver politik pemerintah paling penting pada masa ini adalah kebijakan massa
mengambang (floating mass), yang diperkenalkan sebelum pemilu 1977. Gagasan
kebijakan ini adalah bahwa massa, khususnya di desa-desa, menjadi pemilih
“mengambang” yang boleh mengekspresikan pilihan politiknya hanya pada saat
pemilu. Dengan konsep “masa mengambang” partai yang memiliki cabang di bawah
tingkat kabupaten harus ditutup. Pada saat pemilu, masa di tingkat desa tidak
diganggu oleh hingar-bingar politik dan agitasi.Konsep ini diharapkan akan
melindungi warga desa dari perpecahan yang disebabkan kompetisi partai politik,
dan mendorong mereka mencurahkan energi kepada pembangunan(Crouch,H.,
1994:64,Amal,I., dalam Bourchier, D&Legge,1994:218, dan Holland, 1994: 12).
Akibat dari kebijakan ini, konsep massa mengambang secara formal menghilangkan
basis dukungan politik bagi partai-partai di tingkat desa, dan karenanya
hubungan vertikal dalam patronase politik tradisional terputus. Dengan kata
lain, kebijakan ini merusak patronase politik tradisionalyang menghubungkan
kepentingan politik penduduk desa pusat-pusat politik di tingkat nasional.
Menurut perspektif teori elit,
kebijakan massa mengambang dianggap sangat diperlukan. Silalahi (1990: 36-38),
misalnya, membuktikan bahwa politik massa mengambang merupakan keniscayaan
untuk memantapkan stabilitas politik di Indonesia, karena ia bertujuan mencegah
massa dari keterikatan menjadi anggota partai-partai politik. Kebijakan ini
diperkenalkan menyusul pengalaman-pengalaman sebelumnya yang negatif dan
destruktif ketika partai-partai politik memperoleh kebebasan memobilitasi
dukungan massa. Salah satu sebab dari peristiwa 1965/1966 yang traumatik itu
misalnya, adalah bahwa orang tidak menyadari terhadap berbagai konsekwensi
menjadi anggota sebuah partai politik. Kebanyakan hanya mengikuti teman-teman
mereka saat datang dan pergi mengikuti pertemuan-pertemuan. Silalahi
menjelaskan bahwa di massa Orde Lama, rakyat di desa cenderung tidak rasional.
Mereka dijanjikan yang muluk-muluk tanpa ada realisasinya; mereka dilibatkan
dalam konflik ideologis dan politik antar partai-partai politik. Keterlibatan
penduduk desa dalam konflik politik dan ideologis ini mengabaikan
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka sendiri.
Dari perspektif ini, Silalahi
berpendapat, tujuan kebijakan massa mengambang adalah untuk membuat rakyat
sadar akan kehidupan politik. Artinya, setiap warga mempunyai hak untuk menjadi
anggota sebuh partai politik dan secara aktif mendaftarkan diri mereka sendiri
secara sukarela. Karena itu, keanggotaan rakyat dalam sebuah partai politik
didasarkan kepada kesadaran mereka sendiri dan tidak didasarkan pada
hubungan-hubungan primordial. Dalam sistem massa mengambang, rakyat menyatakan
aspirasi politiknya lewat Pemilu. Setelah Pemilu, kecuali bagi anggota partai,
gerak massa rakyat tidak lagi dibatasi pilihan mereka terhadap satu partai apa
pun dalam pemilu, karena tidak ada faktor yang mengikat mereka pada sebuah
partai politik tertentu. Keputusan rakyat untuk memilih sebuah partai politik
dalam pemilu didasarkan pada program dan platform setiap partai politik pada kampanye. Jika partai tidak memenuhi
program atau komitmen mereka, rakyat dapat memilih partai lain dalam rangkaian
pemilu berikutnya. Tidak ada ikatan permanen pada partai-partai tertentu
selanjutnya akan mendorong mereka untuk memperkenalkan program terbaiknya pada setiap
pemilu. Secara teoritis, partai politik yang mempunyai program paling baik akan
menang pada saat pemilu. Dalam perspektif ini, esensi kebijakan massa
mengambang adalah kesadaran rakyat akan politik. Menurut Silalahi, kebijakan
ini adalah logis dan rasional, karenanya akan mendapatkan tempat di Indonesia.
Kelompok
jama’ah pada masa orde baru
2.1 pengaruh terhadap budaya politik
Menurut Ranney, budaya politik merupakan bertemunya hasil pelembagaan yang
ada di dalam diri manusia dengan hasil pelembagaan pada pihak lain. Sebagai
contoh, orientasi masyarakat terhadap budaya suap (kecenderungan orang untuk
memberi tips kepada petugas dalam mempermudah urusannya).
Transnasionalisasi
budaya politik diantaranya, arus globalisasi akibat revolusi informasi dan
teknologi memungkinkan terjadinya “pengaburan” atau bahkan “penghapusan”
batas-batas budaya antar bangsa atau antar negara. Globalisasi menjadi sarana
terjadinya transnasionalisasi budaya politik dari tingkat lokal, nasional,
hingga global. Isu budaya lokal menjadi perhatian berbagai kelompok di lintas
negara, sebaliknya isu global (demokrasi atau lingkungan hidup) menjadi diskusi
yang intensif di suatu komunitas lokal .
Menurut
Clifford Geertz, budaya politik di
Indonesia yaitu masyarakat Jawa dibedakan menjadi kaum priyayi, abangan, dan
santri. Moderenisasi memfasilitasi pembentukan atau perubahan kebudayaan
politik. Budaya politk local tersubordinasi karena sentralisasi, kemudian
kebudayaan lokal muncul dan menguat karena desentralisasi atau demokratisasi.
Dinamika
perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif sejarah,
merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada
hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu
birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar
budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini
adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat
pengaruh zaman dalam proses sejarah,
munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun berbeda dengan
birokrasi masa lampau, namun masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam
birokrasi baru.
Akar
budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan
penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan
penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya memberikan andil sebagai
akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam
dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan
perekonomiannya.
Kerajaan-kerajaan
di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang
kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata.
Oleh karena itu, kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan,
dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang
saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang
kekuasaan. Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu
adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarkis dan
otoriter.
R.W. Liddle berpendapat,
bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era Orde baru, rezim yang berkuasa
sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta
penyokongnya. Oleh karena itu, birokrasi yang berjalan merupakan bentuk
patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada
para pendukungnya, para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini
dibagi-bagikan itu berwujud, antara lain, jabatan dalam pemerintahan,
jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan lisensi impor dan ekspor.
Disamping
sistem patrimonial, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian kultural
antara abangan dan santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan
kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan
tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah
kerajaan yang dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan
memberi gelar raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java. Namun,
setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja
Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana
Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri
atau ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang
demikian itu sering menimbulkan konflik kultural antara raja dan perangkat
birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini
raja (birokrasi atau priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum
santri.
Konflik
kekuatan kultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan
kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman
Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum
abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini
menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukkan kekuatan kultural, santri
dan abangan.
Penguasa
militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi kultural abangan dan priyayi,
dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung oposisi santri dengan depoltisasi. Di
Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran serta
sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin lainnya
dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk
menghadapi tuntutan golongan Islam.
Dalam
mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit mengalami
pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut. Diluar
partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun selalu
mendapat perhatian khusus dan pengawasan
yang ketat. Sering munculnya letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok
Islam, seperti kasus Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priok. Apakah peristiwa
tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena ketidakpuasan dengan birokrasi,
atau merupakan sebuah skenario untuk memancing kelompok Islam berbuat
destruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan menekannya.
Menurut
Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118)
budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa,
kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi
Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia
adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):
1.
Konfigurasi sub kultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keanekaragaman
subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building)
dan pembangunan karakter (character building).
2.
Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya
politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam
menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin
disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme,
bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya
sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira
disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler
dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti
agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia
merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh
kebudayaan politik parokial-kaula.
3.
Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui
indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan
pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan
lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut
dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal
masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan
menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4.
Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme
dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain
bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial
kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap
obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari
penguasa.
5.
Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya)
dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Varibel-variebel
tersebut di atas terjalin satu sama lain, berinteraksi, bersilangan,
kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada
variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti
ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan
nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan
prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada
tetapi tidak ditaati.
Bentuk-bentuk
mempolitisasi agama ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan
menggunakan dari ayat-ayat tertentu dari agama yang dapat membenarkan tindakan
yang dilakukan dan dua dengan mengerahkan massa turun ke jalan, apakah itu
dalam bentuk demonstrasi atau pawai dijalanan istilah lainnya “tekanan dari
jalanan”.
3.1
pengaruh terhadap bidang ekonomi dan pembangunan
pada
masa pemerintahan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi
penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan
pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut :
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Program
rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama
sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami
kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan
desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat
kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga
(negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata
kehidupan rakyat.
Untuk
mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
-
Memperbarui kebijakan ekonomi, keuangan, dan
pembangunan.
-
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki
sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan.
-
Mengadakan operasi pajak
-
Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru,
baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak
sendiri dan menghitung pajak orang.
-
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran
konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
-
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit
impor.
2. Kerja Sama Luar Negeri
Dalam
upaya memulihkan ekonomi Negara pada pemerintahan orde baru juga melakukan
kerja sama dengan luar negri diantaranya :
- Pertemuan Tokyo
Selain
mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar,
sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat
menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966
pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di
Tokyo. Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang
diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan
dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari
negara-negara kreditor. Kemudian dapat disepakati dan menghasilkan hal-hal
berikut :
1.
Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama
30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
2.
Pembayaran dilaksanakan secara angsuran,
dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3.
Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan
bunga.
4.
Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar
prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat
atau tujuan kredit
.- Pertemuan Amsterdam
Pada
tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta
kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal
dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia
mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan
program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan
pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah
juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan
syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde
Lama. Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan
bantuan luar negeri.
3. pembangunan nasional
Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode
25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan
Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan
nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada
Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman
tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana
politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
1. Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat
2. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Sedangkan
delapan jalur pemerataan yang dilakukan pemerintah orde baru meliputi :
1. Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan
2. Pemerataan
memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan
pembagian pendapatan.
4. Pemerataan
kesempatan kerja
5. Pemerataan
kesempatan berusaha
6. Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita.
7. Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan.
Sealnjutnya
Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun
(Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita
yaitu :
1. Pelita I
pelita I Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
1.
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat,
khususnya kebutuhan sandang pangan
2.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
dan pelayanan kesehatan.
3.
Pemerataan pembagian pendapatan
4.
Pemerataan kesempatan kerja
5.
Pemerataan kesempatan berusaha
6.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
7.
Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh
wilayah tanah air
8.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4.Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Gambar pembangunan pada masa
orde baru
4.1
Pengaruh terhadap bidang sosial
Dalam
masa kekuasaan pemerintahan orde baru terdapat pengaruh-pengaruh dalam bidang
sosial antara lain :
a. Mementingkan persatuan nasional
Di
masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi,
Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan
dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan
kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi
yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran
itu orang Jawa.
Pada
awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan, Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigran. ( cataan )
b. Pertumbuhan dan mobilitas penduduk
teratur
Menurut
Edward
Ullman ada 3 faktor yang mempengaruhi timbulnya interaksi kota, yaitu :
1. Adanya wilayah yang
saling melengkapi
2. Adanya kesempatan untuk
berinteraksi
3. Adanya kemudahan
transfer/pemindahan dalam ruang
Dalam
kaitannya dengan interaksi kota tersebut, maka mobilitas penduduk dapat
diartikan sebagai suatu perpindahan penduduk baik secara teritorial ataupun
geografis. Hubungan timbal balik antara kota dengan kota maupun antara kota
dengan desa dapat menyebabkan munculnya gejala-gejala yang baru yang meliputi
aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Gejala ini dapat bersifat positif ataupun
negatif bagi desa dan kota.
Selanjutnya
dalam masa kekuasaan pemerintahan orde baru terdapat pusat-pusat pertumbuhan di
Indonesia, untuk mengetahui munculnya pusat-pusat Pusat-Pusat pertumbuhan di
Indonesia terdapat 2 teori yaitu :
1. Teori Tempat Sentral (
central place theory ) oleh Walter Christaller
Bahwa
Pusat lokasi aktivitas yang melayani berbagai kebutuhan penduduk harus berada
di suatu tempat sentral yaitu tempat yang memungkinkan partisipasi manusia
dengan jumlah yang maksimum.Tempat sentral itu berupa ibukota kabupaten,
kecamatan, propinsi ataupun ibukota Negara. Masing-masing titik sentral
memiliki daya tarik terhadap penduduk untuk tinggal disekitarnya dengan daya
jangkau yang berbeda.
2. Teori Kutub Pertumbuhan (
Growth Pole Theory ) oleh Lerroux
Bahwa
pembangunan yang terjadi di manapun tidak terjadi secara serentak tapi muncul
pada tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan identitas yang berbeda. Kawasan
yang menjadi pusat pembangunan dinamakan pusat-pusat atau kutub-kutub
pertumbuhan. Dari kutub inilah proses pembangunan menyebarke wilayah-wilayah
lain di sekitarnya.
Faktor
penyebab suatu titik lokasi menjadi pusat pertumbuhan
Suatu titik lokasi menjadi
pusat pertumbuhan disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kondisi fisik wilayah
2. Kekayaan sumber daya alam
3. Sarana dan prasarana
transportasi
4. Adanya industry
5.1
pengaruh terhadap kemasyarkatan dan kebudayaan
Pada masa
kepemimpinan orde baru terdapat pengaruh-pengaruh dalam sosial culture
diantaranya :
a. Kebijkan dalam suatu kebudayaan oleh
pemerintah
Tim
peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dipimpin oleh Kepala
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Riwanto Tirtosudarmo dan melibatkan Anas Saidi, Muridan Widjoyo, Tung Yu Lan, Dedi Aduri, Makmuri Sukarno, dan lain-lain mencakup enam bidang
kebudayaan yang dinilai memiliki arti strategis, yakni bahasa, sastra, agama,
etnis, pendidikan dan kesenian
Rezim
Orde Baru lebih menjadikan kebudayaan sebagai instrumen untuk melanggengkan
kekuasaan ketimbang menjadikannya sebagai pusat pengembangan kesadaran
masyarakat. Berbagai intervensi, sensorship, diskriminasi etnis, monopoli penafsiran dan pemaknaan bahasa, politisasi
agama, dilakukan negara guna melegitimasi kekuasaan belaka.
Memang,
yang diteliti oleh LIPI adalah policy atau kebijakan pemerintah Orde Baru yang
berkaitan dengan kebudayaan. Bukan 'kebudayaan Indonesia' yang dirunut Nirwan
Dewanto dalam Kongres Kebudayaan 1991, yang menyebutkan bahwa setiap manusia
berpotensi menciptakan kebudayaan
Diantara garis besar dalam
penelitian LIPI meliputi :
1.
Dalam bidang bahasa
Rezim
Orde Baru telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai 'alat ketertiban'.
Kebijakan bahasa Indonesia digunakan sebagai alat pembentukan berfikir,
bersikap, dan bertindak yang menunjang pembangunan nasional.
Kebijakan
bahasa Indonesia telah diposisikan sebagai instrumen kekuasaan Orde Baru, yang
tujuan akhirnya untuk memelihara dan meningkatkan legitimasi kekuasaan.
Efek
makna yang utama dari strategi bahasa adalah bahwa segala hal yang baik dan
benar adalah berasal dari negara. Dalam upaya membangun mitos diri sebagai
'orde kebajikan', Orde Baru juga menciptakan mitos-mitos tentang oposisi Orde
Baru, yakni Orde Lama, yang dikonotasikan sebagai 'orde keburukan'.
Politik
bahasa Orde Baru yang bertujuan membentuk cara berfikir, bersikap, dan
bertindak untuk menerima Orde Baru sebagai 'orde kebajikan' disosialisasikan ke
dalam politik bahasa selama lebih dari tiga dekade (32 tahun). Orde Baru juga
mengadopsi dan memanfaatkan kata-kata dan makna-makna berdasarkan konteks
politik yang ada, yang bersumber dari elemen-elemen yang hidup dalam
masyarakat, untuk menunjang politik pemaknaannya.
Oleh
karenanya, untuk membebaskan bahasa sebagai kepentingan legitimasi kekuasaan,
perlu dibuka ruang publik untuk berekspresi, interpretasi yang beragam, dan
toleransi atas perbedaan pemaknaan dan pemahaman.
2.
Dalam bidang sastra
Policy
kebudayaan Orde Baru telah memposisikan sastra dalam posisi yang marginal.
Posisi kesusastraan nyaris tidak tercakup dalam birokrasi kebudayaan. Posisi
marginalisasi ini juga diperburuk oleh pemahaman dan apresiasi aparat terhadap
kesusastraan.
Sementara
kebijakan Orde Baru dalam bidang kesusastraan menunjukkan kuatnya semangat
penyensoran dalam karya sastra yang dianggap 'tidak aman' atau berbahaya secara
politik. Kebijakan Orde Baru yang toleran terhadap sastra yang tidak memasuki
wilayah politik menggambarkan upaya yang kuat untuk meletakkan sastra sebagai
instrumen ideologis.
Sejalan
dengan konsep sastra yang 'aman' adalah kecenderungan untuk mensakralkan seni
dan tradisi serta memanfaatkan kesusastraan untuk melakukan kontrol terhadap
'kebenaran'. Kebudayaan secara umum dan kesusastraan yang dianggap mengandung
nilai-nilai luhur budaya dan bangsa dilestarikan. Pada saat yang sama, sastra
menjadi bagian dari mekanisme ideologis untuk membangun definisi 'kebenaran'
yang direstui pemerintah.
Menjamurnya
komunitas sastra di berbagai wilayah pada dekade 90-an secara langsung
merupakan respon dari para aktor sastra untuk mengisi berbagai kekurangan dan
kevakuman dalam sistem sastra yang ada sekaligus merupakan perlawanan terhadap
peran negara yang dominan. Ketidak mampuan pendidikan untuk menggairahkan
apresiasi sastra ikut melemahkan kreativitas sastra hingga kini.
3.
Dalam bidang Keagamaan
Salah
satu yang menonjol dalam kebijakan keagamaan dalam Orde Baru adalah kuatnya
semangat negara untuk memanfaatkan agama sebagai legitimasi kekuasaan.
Sementara paradigma yang dominan dalam merespon policy itu sangat dipengaruhi
oleh wacana agama yang lebih mengedepankan artikulasi agama yang formalistik,
legalistik, dan lebih mementingkan simbolisasi agama daripada substansi agama.
Akibatnya,
hampir sepanjang sejarah Orba kisah kebijakan agama mencerminkan pertarungan
ideologis dalam memperebutkan pendefinisian realitas.
Upaya
berlebihan negara dalam memperjuangkan kepentingan ideologi sekulernya tidak
pernah mendatangkan ideologi pluralisme agama, tapi malah semakin memperkuat
hadirnya kecenderungan politisasi agama.
Sementara
dalam kaitannya dengan hegemoni 'agama resmi' terhadap aliran 'sempalan' yang
dianggap keluar dari mainstream, seringkali terjadi simbiosis mutualistik
antara negara dan 'agama resmi'.
Atas
nama 'agama resmi' pula negara sering melakukan penertiban terhadap aliran
'sempalan' yang lebih didasarkan atas alasan-alasan politik. Sedangkan atas
nama negara, 'agama resmi' seringkali melakukan monopoli tafsir doktrin agama
atas aliran 'sempalan', yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sebuah
hegemoni.
Akibatnya,
bukan saja terjadi marginalisasi terhadap agama di luar 'agama resmi', tapi
ideologi pluralisme agama juga semakin kehilangan eksistensi di ruang publik.
Di
tengah munculnya kembali semangat politisasi agama seperti yang terjadi
sekarang, menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Jika organisasi agama lebih banyak melibatkan diri pada orientasi kekuasaan,
maka penyalahgunaan agama sebagai kepentingan politik akan sangat sulit
dihindarkan. Dan jika ini terjadi, maka agama sebagai faktor pemecah yang
menjadi muara konflik sosial akan sulit dihindari.
Oleh
karenanya, salah satu kemungkinan yang paling riil untuk menghadirkan ideologi
pluralisme agama adalah dengan menjauhkan organisasi agama dari kepentingan
kekuasaan, dan lebih mendekatkannya pada wilayah publik (civil society).
4.
Etnisitas
Kebijakan
etnisitas yang lebih diwarnai obsesi berlebihan Orde Baru dengan penyeragaman
kultural dalam merumuskan kepentingan negara, telah membawa implikasi terhadap
bias kebijakan. Ketidakmampuan pemerintah membangun kesadaran akan perlunya
satu kebudayaan yang memayungi kebudayaan-kebudayaan lokal -- yang mengikat
kelompok-kelompok di daerah ke dalam kesatuan sosial dalam bingkai negara
bangsa yang mempunyai satu identitas nasional -- akhirnya menimbulkan reaksi
ketidakpuasan dari kelompok-kelompok sosial di daerah yang dibungkus oleh
sentimen-sentimen etnisitas.
Dengan
kondisi polarisasi ekonomi antara daerah dan pusat telah ikut merangsang
semangat mempertegas etnisitas yang dapat difungsikan sebagai alat perlawanan
dengan pusat, sekaligus menjadi sumber konflik sosial yang lebih bersifat
horisontal. Kecenderungan seperti ini sangat rawan untuk memelihara kelangsungan
masyarakat sipil (civil society).
Lebih
lagi, Orde Baru juga melanggengkan hubungan-gubungan asimetris antar kelompok
masyarakat melalui kebijakan-kebijakan diskriminatif. Sehingga kebijakan Orba
telah mendorong isu etnisitas sebagai senjata ideologis dalam kontestasi
kekuasaan antar pusat dan daerah, dan antar kelompok masyarakat, yang semakin
menyuburkan konflik horizontal.
Oleh
karenanya, sangat penting diciptakan berbagai level arena yang memungkinkan
semua kelompok kepentingan untuk mendiskusikan dan menegosiasi kepentingan
masing-masing secara setara.
5.
Dalam bidang Pendidikan
Kebijakan
pendidikan di masa Orde baru tidak dapat dipisahkan pada kebijakan masa
sebelumnya, Orde Lama, bahwa dalam pendefinisian pendidikan dalam UUD 45
memberikan peluang bagi penguasa untuk menggunakan sistem pendidikan bagi
manuver ideologi, sehingga sistem pendidikan menjadi alat sosialisasi definisi
identitas yang dirumuskan oleh rezim penguasa.
Orde
baru yang sangat menonjolkan ideologi pembangunan sebagai orientasi utama,
telah membawa konsekuensi atas hadirnya dua arah pelaksanaan konsep pendidikan
yang dianggap menyeluruh. Di satu pihak, secara selektif materi pendidikan,
khususnya dalam nilai-nilai, disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Di lain
pihak, proses transformasi isi dan bentuk pendidikan, termasuk sekolah swasta,
disesuaikan dengan ideologi pembangunan ekonomi yang diinginkan.
Akibatnya,
di tinngkat pendidikan moral yang lebih mengutamakan pesan ideologis penguasa
dan pendidikan agama yang lebih mengedepankan verbalitas atau ritual daripada
substansi nilai, cenderung membawa fragmentasi berfikir anak dan memperkuat
semangat primordialisme. Sedangkan intervensi berlebihan pemerintah terhadap
pendidikan mengakibatkan lumpuhnya lembaga pendidikan yang dapat memberi
pengetahuan yang relevan terhadap tuntutan perkembangan masyarakat.
Oleh
karenanya, rencana pengembangan manajemen pendidikan berbasis sekolah harus
bisa menjadi instrumen masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain
itu, sistem tersebut harus dilengkapi dengan model community base education
(pendidikan berbasis masyarakat)
6.
Dalam bidang kesenian
Kuatnya
semangat birokrasi kesenian yang dicanangkan Orde Baru dengan kebijakan yang
mengutamakan institusionalisasi kesenian, telah membuat upaya yang semula untuk
menegaskan pluralisme kesenian, justru mengeleminasi keberagaman antar berbagai
kesenian yang ada.
Birokrasi
kesenian Orde Baru telah melakukan sensor kesenian untuk kepentingan negara,
telah membuat keberagaman budaya semakin kehilangan eksistensinya.
Di
sisi lain, upaya revitalisasi kesenian lokal oleh negara yang dimaksudkan untuk
melestarikan budaya lokal, justru menjadi bumerang, karena strategi yang
digunakan negara (revitalisasi), justru dilakukan juga oleh elite lokal untuk
legitimasi dalam melakukan perlawanan terhadap negara.
Oleh
karenanya, desentralisasi kemungkinan akan memperkuat peranan kesenian lokal
sebagai bagian dari politik identitas
b.
Kebijakan
pemerintah yang konyol
Seperti
yang kita ketahui bahwa, Orde Baru menyelewengkan budaya Jawa menjadi kekuasaan
yang represif. Perkara rambut gondrong ini menjadi salah satu praktik kekuasaan
dari seorang “bapak” kepada “anak-anaknya”. bahwa pemuda gondrong yang dimaksud, selain
dianggap anak-anak yang perlu “diselamatkan” dari pengaruh budaya Barat,
termasuk pemuda-pemuda kelas menengah-atas: anak-anak pejabat itu sendiri.
Perkara keluarga pejabat ini—yang sampai di sini saja sudah konyol—lalu tumbuh
subur ke berbagai pelosok kota besar Indonesia.
Sebut
saja sejumlah contohnya. Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan,
razia rambut gondrong dilakukan oleh polisi dan tentara di jalanan. Di Medan,
bahkan dibentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong)
oleh Gubernur Sumatera Utara. Baik kepolisian maupun instansi publik menolak
melayani orang-orang berambut gondrong. Jangan harap bisa bikin SIM, KTP, izin
pertunjukan, izin rapat, surat keterangan bebas G30S/”PKI” kalau belum mampir
tukang cukur.
Selain
itu, harian Pos Kota, sebagai corong Orde Baru pada masa itu, mencitrakan
rambut gondrong dengan penjahat. TVRI menolak artis-artis berambut gondrong
untuk tampil. Tapi grup musik The BeeGess di Medan pada 1973 boleh tampil
gondrong, sementara penggemarnya yang gondrong dilarang ikut arak-arakan The
BeeGees keliling kota oleh Pangdam II/Bukit Barisan. Sembilan orang pelajar
SMAN 1 Medan dikeluarkan karena gondrong, tapi 31 siswa lainnya “dikecualikan”
karena mereka anak-anak pejabat.
Ini
praktik kekuasaan yang konyol, tentu saja, bahkan tolol. Ketika Orde Baru—yang
ditegakkan lewat kudeta dan pembantaian massal—pada awal masa pemerintahannya
membuka keran investasi asing sederas-derasnya, Orde Baru tidak memperhitungkan
pengaruh kebudayaan Barat yang akan menjadi bumerang. Ketika pengaruh-pengaruh
tersebut—yang sebagian besar diakses oleh pemuda kelas menengah-atas (yang
adalah anak-anak pejabat sendiri)—tampak mengancam stabilitas negara, Orde Baru
panik. Hubungan pemuda, yang semula sebagai “adik” yang diam-diam dimanfaatkan
“kakak-kakak” militer untuk menumbangkan “Orde Lama”, jadi renggang, dan “bapak” Orde Baru perlu
“menertibkannya”.
“Buruk
muka cermin dibelah” yang menggelikan itu, lalu jadi serius, hingga
mengenaskan. Pada 6 Oktober 1970, seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad,
ditembak mati oleh tentara. Hari itu diadakan olahraga persahabatan untuk
meredam konflik soal rambut gondrong antara mahasiswa ITB dan tentara. Tapi
hasilnya justru letusan senjata, keributan, yang memakan korban. Sebuah tragedi
yang disebabkan oleh tentara-tentara yang tidak gondrong.
Kasus
tersebut memang tak pernah diusut. Namun sungguh menyulut kemarahan
mahasiswa.Selama tiga tahun berikutnya berbagai protes diteriakkan. Polemik
berkecamuk. Puncak kemarahan mahasiswa adalah pernyataan Jenderal Soemitro di TVRI
pada 1973. Dialog lalu dilakukan oleh Soemitro untuk meredam masalah. Polemik
rambut gondrong kemudian memang menyurut. Namun tidak dengan ketidakpercayaan
mahasiswa terhadap pemerintah. Marzuki Arifin, dalam laporannya, bahkan percaya bahwa pernyataan Soemitro di
TVRI itu adalah salah satu pemicu peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas
Januari, 1974), konfrontasi besar pertama antara mahasiswa dengan pemerintah di
masa awal Orde Baru.
Namun
sampai kini, memang pelajarlah yang paling sial. Rambut gondrong masih dilarang
di sekolah. Alasan kerapihan dan segala hal yang tidak masuk akal itu, tampak
setali tiga uang dengan masa 1966 – 1973 itu. Sekalipun tetap tidak bisa
dibayangkan bagaimana pada sebuah masa, kota-kota besar pernah diserbu oleh
aparat bergunting yang merazia pemuda-pemuda gondrong, juga memotong
celana-celana berpipa gombrong mereka, sampai bisa berakhir dengan pengeluaran
siswa dari sekolah dan kematian mahasiswa.
c.
Dunia
pewayangan pada zaman orde baru
Pada zaman orde baru budaya pewayangan
/ kesenian wayang apresiasinya sangat besar baik dikalangan pemerintahan maupun
rakyat jelata Suatu, dalam masyarakat Jawa – yang punya pengaruh yang kuat
dalam masyarakat Indonesia pada umumnya – adalah masih lestarinya budaya
“wayang purwo/kulit” biarpun berbagai unsur budaya telah mempengaruhi bangsa
Jawa/Indonesia termasuk unsur-unsur budaya Islam, dan budaya asing. Bukti yang
nyata dari masih besarnya pengaruh budaya “wayang purwo/kulit” ini dengan
adanya siaran seminggu sekali di salah satu stasiun TV swasta dan juga
tayangan-tayangan nyata maupun di layar pada masa kekuasaan orde baru (yang mendapat sambutan yang sangat positif
dari penggemar budaya “wayang purwo/kulit” pada khususnya dan masyarakat Jawa
pada umumnya).
Dunia pewayangan tidak akan pernah
bisa lepas dengan dunia kekuasaan dan kenegaraan karena pada saat yang paling
awal “sang dalang” selalu mulai dengan suatu utopi tentang masyarakat / negara
ideal yaitu situasi masyarakat/negara yang “panjang punjung pasir wukir loh
jinawi tata tentrem gemah ripah karta raharja “. Panjang berarti termasyhur,
punjung – tinggi kewibawaannya, pasir – luas jangkauannnya, wukir-teguh dan
kuat,loh-subur, jinawi murah sandang pangan, tata – tertib, tentrem – tenteram,
gemah -perdagangan maju, ripah- erba tersedia, karta-aman, raharja – makmur.
Yang pada hakekatnya saat ini diterjemahkan sebagai visi bangsa Indonesia untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Dunia
pewayangan juga tidak bisa lepas dari dunia kepemimpinan yang ideal, yaitu
syarat yang berat untuk seseorang menjadi seorang raja/pemimpin negara karena
hanya pemimpin yang ideal bisa mewujudkan masyarakat yang ideal. Salah satu
ajaran yang paling umum diceritakan dalam pewayangan syarat pemimipin ideal adalah
“hastabrata” atau delapan sikap/laku yang diambilkan dari sifat alam, yaitu
pemimpin harus mempunyai sikap :
a.
mahambeg mring kismo (sifat bumi): setia memberi kebutuhan hidup kepada siapa
saja.
b.
mahambeg mring warih (sifat air): selalu turun kebawah rakyat dan memberikan
kesejukan atau rasa ketentraman kepada semua rakyat.
c.
mahambeg mring samirana (sifat angin): ada dimana saja atau bersikap adil
kepada siapa saja.
d.
mahambeg mring candra (sifat bulan): memberi penerangan yang sejuk dan indah
(kebahagian dan harapan).
e.
mahambeg mring surya (sifat matahari):memberi sinar hidup keseluruh jagat raya
atau sebagai sumber petunjuk hidup.
f.
mahambeg mring samodra (sifat laut / samudra): luas, tempat membuang apa saja
atau sifat kasih sayang, pengertian, dan kesabaran.
g.
mahambeg mring wukir (sifat gunung): kukuh, teguh, tidak mudah menyerah untuk
membela kebenaran maupun rakyatnya.
h.
mahambeg mring dahono (sifat api): mampu membakar semangat dan memberi
kehangatan atau mampu memerangi kejahatan dan memberikan ketenteraman /
perlindungan buat rakyatnya.
Dunia
pewayangan juga tidak lepas dari dunia ksatria utama (ksatria dalam artian yang
luas adalah seseorang yang mempunyai kemampuan /kesaktian untuk membela
kebenaran – dalam artian yang terbatas saat ini bisa berarti ABRI). Karena epic
Ramayana dan Mahabharata adalah cerita tentang kepahlawan, ksatria menjadi
focus cerita dan kstaria utama selalu menjadi idola penonton “wayang purwo /
kulit” yang tokohnya sangat banyak sekali yang bisa dijadikan contoh
sifat-sifatnya (Bima, Arjuna, Gatotkaca, Tripama – Sumantri, Kumbokarno, Karna
– dsb.) Salah satu yang cukup banyak dikutip adalah “Ajaran 15″ yaitu ksatria
utama bersifat:
a.
Wijaya : bijaksana dalam berbakti kepada negara.
b.
Mantriwira : dengan senang hati berbakti kepada negara.
c.
Wicaksana maya : bijaksana dalam berbicara dan bertindak.
d.
Matangwan : dikasihi dan dan dicintai rakyat.
e.
Satya bakyi prabu : setia kepada negara dan raja.
f.
Wakniwak : tidak berpura-pura, mulut dan hati harus satu.
g.
Seharwan pasaman : sabar dan sareh – tidak gugup dalam hati.
h.
Dirut saha : Jujur, teliti, sungguh-sungguh dan setia.
i.
Tan lelana : baik budi dan mengendalikan pancaindra.
j.
Diwiyacita : menghilangkan kepentingan pribadi.
k.
Masisi samasta buwana : memperjuangkan kesempurnaan diri dan kesejahteraan
dunia.
l.
Sih samastha buwana : setia kepada negara agar rakyat tertib dan makmur.
m.Dinrang
pratidina : meninggalkan tindak yang jelek dan mengutamakan tindakan yang baik.
n.
Sumantri : menghamba seumur hidup.
o.
Hanaya ken musuh : mengorbankan jiwa untuk negara berlandaskan kebenaran dan
keadilan.
Dunia
pewayangan adalah sarat dengan petuah-petuah perbuatan yang utama sebagai
pegangan hidup maupun dalam bertindak baik seseorang sebagai raja / pemimpin, ksatria,
pendeta, maupun orang biasa yang intinya adalah pelajaran etika agar seseorang
selalu berbudi luhur untuk selalu berbuat luhur dan menjauhi perbuatan yang
merusak diri maupun lingkungan sekitarnya dan ini sebetulnya juga inti dari
pelajaran keagamaan dan kepandaian “sang dalang” yang menjadi faktor utama
agama yang mana atau ajaran etika yang mana yang akan ditonjolkan. Dan etika
pedalangan bahwa tidak seorang dalangpun yang akan lebih
menonjolkan/memenangkan perbuatan tercela dalam penampilan cerita/lakon yang
dibawakan
Kembali
kepada pokok persoalan antara kekuasaan orde baru dan pewayangan
1.
Negara/masyarakat ideal :
Visi
dari bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur pada tahun 2020
tidak terlepas dari pengaruh utopi dunia pewayangan. Dalam Mahabharata ada dua
negara yang saling berhadapan sebagai pihak yang tercela dan pihak yang patut
ditiru yaitu:
Hastinapura
– dengan Duryudana sebagai rajanya dan Amartapura-dengan Puntadewa /Judistira
sebagai rajanya. Dalam Ramayana negara Alengkadiraja – dengan Rahwana sebagai
rajanya dan Ayodya – Ramawijaya sebagai rajanya. Kaitannya dengan negara dalam
pewayangan “sang dalang” selalu menceritakan keberadaan negara ideal baik itu
di Hastinapura, Amartapura, Alengkadiraja, atau Ayodya. Yang membedakan sifat
negara tersebut adalah sifat pemimpin2-nya yang menjadikan ciri negara tersebut
bisa dikatakan sebagai negara panutan atau bukan. Adalah tidak bisa memberikan
suatu analogi yang tepat dengan mengatakan negara Indonesia menganut utopi Indonesia-Amartapura,
Indonesia – Hastinapura, Indonesia Alengkadiraja, atau Indonesia-Ayodya. Karena
yang tercela adalah Hastinapura pada saat dipimpin oleh Duryudana (tidak pada
waktu dipimpin oleh Panduwinata, ataupun Parikesit)begitu juga Alengkadiraja pada
saat dipimpin oleh Rahwana tidak pada saat dipimpin Prabu Somali , ataupun
Gunawan Wibisana). Pewayangan telah memberikan simbol yang tepat tentang suatu
negara panutan sangat tergantung dari etika dari para pimpinannya, negara
adalah negara sekedar suatu wilayah tertentu, kesatuan bangsa tertentu, dan
dengan suatu visi utopi tertentu, yang memberikan ciri apakah bisa menjadi
negara ideal/panutan adalah pelaku2-nya atau pimpinan2-nya.
Sebagai
contoh bahwa “image” Negara tergantung para pemimpinnya seperti Pemerintahan
Orde Baru :
a.
Apabila sang pemimpin memberikan kesan-mungkin juga melaksanakan- bahwa
menerima komisi berdasarkan jasa-jasa yang diberikan
berhubungan
dengan jabatannya itu adalah sah, semua jajaran dalam pemerintah sampai dengan
yang paling rendah tanpa rasa bersalah menerima komisi /uang jasa (padahal
untuk pekerjaannya itu ia sudah diberi imbalan gaji)
b.
Kalau sang pemimpin menghalalkan anak dan cucunya menjadi pengusaha dengan
mendompleng fasilitas ayahnya – bahkan termasuk mendapatkan kucuran kredit
dengan mudah dari bank pemerintah untuk pembeyaan proyek2-nya – maka
ramai-ramai anak Menteri, anak Gubernur, anak Dirjen, anak Bupati, anak Camat,
anak Lurah jadi pengusaha muda dadakan dengan segala fasilitas orang tuanya.
c.
Kalau sang pemimpin dengan mudahnya meminta sumbangan kepada konglomerat untuk
mendirikan Yayasan yang katanya untuk mempercepat kesejahteraan rakyatnya konon
khabarnya yang dikucurkan untuk keperluan sumbangan hanya sebahagian dari
bunganya), dan ramai2-lah dalam setiap kesempatan dan segala alasan yang dibuat
setepat-tepatnya kalangan pejabat pemerintahan meminta sumbangan kepada para
pengusaha (dan pengusaha tidak bodoh karena struktur harga produk yang dijual
akan disesuaikan dengan segala pengeluaran tak terduga yang akan membebani
konsumen yang kebanyakan adalah rakyat kecil, dan logikanya sebetulnya para
pemimpin tersebut secara tidak langsung meminta sumbangan kepada rakyat kecil).
Dan pembaca bisa menambahkan sendiri kalau mau – barangkali pemimpin2 mengira bahwa
rakyat tidak tahu hal2 tersebut diatas – dan bisa menyimpulkan sendiri
bagaimana “image” negara kita yang tercinta Indonesia dengan kelakuan para
pemimpin2 Orde Baru dibandingkan dengan tujuan visi negara /masyarakat ideal
dalam dunia pewayangan.
2.
Pimpinan ideal (seberapa jauh pimpinan orde baru merupakan refleksi pimpinan
ideal seperti dalam pewayangan): Adalah kajian yang menarik apabila melihat
pimpinan Nasional bangsa Indonesia saat ini (istilah pimpinan disini bisa
berarti kelompok dalam kaitan yang luas termasuk pimpinan nasional didalamnya).
Apakah kekuasan orde baru adalah refleksi dari Amartapura pada masa
kepemimpinan Puntadewa/Judistira ataukah refleksi dari Hastinapura pada masa
kepemimpinan Duryudana (dengan tidak ada maksud memberikan garis lurus hitam –
putih, setidaknya ciri-ciri utama yang nampak dalam opini penulis).
Adalah
menjadi ciri-ciri utama dalam ruang tamu pimpinan2 nasional yang Jawa untuk
mempunyai hiasan penyekat ruangan dengan dekorasi tokoh “wayang purwo/kulit”
dan umumnya tokoh yang digambarkan adalah tokoh PendawaLima dan Kresna. Ini
adalah refleksi positif bahwa yang ditokohkan adalah tokoh yang mempunyai
sifat2 kepemimpinan yang terpuji :
a.
Yudistira : pemimpin yang mempunyai sikap kejujuran dan kesabaran
b.
Bima/Werkudoro : Jujur, tegas, disiplin, berani karena benar
c.
Arjuna : senang bertapa dan menuntut ilmu oleh karena itu sangat sakti
d.
Nakula : ahli dibidang pertanian dan kesejahteran rakyat
e.
Sadewa : ahli dibidang peternakan dan industri
f.
Sri Kresna : bijaksana, ahli strategi, antisipatif oleh karena itu sering
dikatakan bisa mengerti sesuatu kejadian yang belum terjadi
Apakah
pimpinan-pimpinan orde baru yang Jawa pada saat ini memang mengidolakan Pendawa
Lima dan Sri Kresna dan kemudian mencoba meniru sifat-sifat yang terpuji dari tokoh-tokoh tersebut secara
konsekwen ? Kalau indikasi yang ada jauh dari sifat-sifat yang diidolakan dalam
gambar wayang yang dipajang diruang tamu pimpinan-pimpinan Nasional yang Jawa
maka keadaan ini justru suatu sikap hipokrit (ke-pura-pura’an) yang sangat
nyata. Pada saat perang Baratayuda (perang antara Pendawa Lima dan Kurawa yang
sama-sama masih keturunan Barata) Resi Bisma yang sesepuh dari kedua belah
pihak mengingatkan pihak Kurawa tidak akan mungkin menang melawan Pandawa
karena di pihak Pandawa ada Yudistira, Sri Kresna, dan Semar. Dan sifat-sifatnyata
dari ketiganya yang merupakan kekuatan suatu negara :
a.
Yudistira sebagai raja yang sangat jujur dengan sifat yang “ambeg paramarta
berbudi bawalaksana” – ambeg para marta berati murah hati / suka memberi,
berbudi – mempunyai budi pekerti yang luhur, bawalaksana – satunya kata dengan
perbuatan. Refleksi ini seharusnya yang dipunyai oleh pimpinan yang berada dibidang
eksekutif negara kita.
b.
Sri Kresna yang sangat adil dan bijaksana sebagai penasehat Pendawa – refleksi
dari fungsi lembaga strategis, dewan pertimbangan agung, dan lembaga peradilan
yang netral / judikatif.
c.
Semar sebagai simbol rakyat yang bisa memberikan suara hati nurani rakyatnya,
yang juga sangat menentukan dan didengar oleh rajanya – refleksi dari lembaga
perwakilan rakyat /legislatif.
Dari
interpretasi simbolik dari dunia pewayangan tidak benar adanya bahwa kita tidak
mengenal suatu konsep yang mirip dengan konsep “trias politika”, tidak benar
juga kalau kita tidak mengenal oposisi, dalam cerita pewayangan banyak cerita
yang Semar dan panakawan sebagai simbol dari rakyat tidak sependapat dengan para
Ksatria dan raja yang menyimpang dari budi pekerti luhur yang akhirnya bisa
diingatkan kembali (cerita/lakon seperti Jamus Kalimosodo, Petruk Jadi Raja,
Semar Barang Jantur, dll.). Dan dalam pewayangan biarpun namanya Dewa, Raja,
dan Ksatria mempunyai kelemahan-kelemahan yang juga pada saat tertentu
mempunyai perilaku yang tercela yang perlu diperbaiki. Justru pewayangan
memberikan tempat paling terhormat kepada Semar (rakyat) yang selalu
mengingatkan Raja dan Ksatria untuk tetap berjalan pada garis yang lurus dan
berbudi luhur. Jelas faktor utama kepemimpinan dalam pewayangan yang dinilai
adalah faktor etika yaitu seberapa pemimpin menunjukan keluhuran budi dan bisa
membedakan antara baik dan buruk, karena pemimpin yang berkelakuan buruk tentu
akan menghasilkan masyarakat yang buruk pula.
Kembali
kepada refleksi kepemimpinan Nasional Orde Baru saat ini:
1.
Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini
refleksi dari Amartapura dibawah kepemimpinan bijaksana dari Judistira, Sri Kresna,
dan Semar? Dan ini secara nyata yang di-idealkan oleh masyarakat Jawa dalam
dunia “wayang purwo/ kulit” (dan ini pasti dicita-cita kan oleh
pemimpin-pemimpin Nasional yang Jawa sebagai pegangan ideal – lepas secara
nyata bisa dilaksanakan atau tidak). Dari indikator pengamatan penulis
kelihatannya sifat2 kepemimpinan Orde Baru saat ini tidak ada miripnya dengan
kepemimpinan ideal Judistira, Sri Kresna, dan Semar.
2.
Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini
refleksi dari Hastinapura dibawah pimpinan Duryudana dengan penasehat Patih
Sengkuni, Pendita Durna yang banyak tipu muslihat dan mengagungkan
angkaramurka? Kalau ini disamakan sifat kepemimpinan Nasional Orde Baru saat
ini seperti sifat Duryudana, pasti akan banyak yang marah besar (apalagi kalau
dikatakan seperti Rahwana / Dasamuka yang bermuka sepuluh dari Alengkadiraja).
Kalau pemimpin-pemimpin Orde Baru berani melakukan intropeksi barangkali
indikasi ini memang benar adanya mengingat dengan sistim kolusi dan korupsi
yang merajalela, yang ukuran materi menjadi lebih utama dari budi yang luhur,
yang kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok melebihi kepentingan rakyat
banyak.
3.
Ksatria ideal dan dwifungsi ABRI: Sangat menarik untuk dikaji bahwa peranan
Ksatria Utama – dalam arti yang terbatas pada saat ini bisa berarti kalangan
ABRI – dalam “wayang purwo / kulit” meniru model Ksatria Pandawa Lima terutama
yang menjadi tulang punggung dalampeperangan adalah Bima/Werkudoro dan Arjuna.
Disamping sebagai panglima perang Bima / Werkudoro juga diberikan teritori yang
namanya Jodipati dan Arjuna diberi teritori yang namanya Madukara (Kemungkinan
besar pemberian teritori ini pengaruh pada masa Mataram mengingat model
Panglima yang merangkap Bupati yang
mengelola pemerintahan daerah adalah terjadi pada masa kekuasaan Mataram –
dalam cerita asli Mahabharata tidak pernah diceritakan tentang kekuasan
teritori dari Bima ataupun Arjuna). Makanya sangat tidak mengherankan kalau
pelaksanaan dwifungsi ABRI, banyak kalangan Ksatria / ABRI mendapat jabatan Gubernur,
Bupati, Camat dan lain-lainnya. Dan kalau interpretasi tentang fungsi rangkap
di pewayangan tidak diluruskan kembali, dwifungsi ABRI akan tetap ada selama
pengaruh “wayangpurwo/kulit” dalam masyrakat masih ada – dan tetap dianggap
suatu kewajaran meniru idola Bima dan Arjuna sebagai Ksatria Utama terpanggil
untuk ikutjuga mengelola pemerintahan (walaupun belum tentu punya penguasaan
yang cukup dibidang ini – dan mempersempit ruang gerak orang sipil untuk
menduduki fungsi penting dalam pemerintahan). Model ini sebetulnya tidak lebih
model negara kerajaan bukan model peranan tentara dinegara demokrasi.
Barangkali
interpretasi simbolik dari dunia “wayang purwo/kulit” berkaitan dengan fungsi
rangkap dari Ksatria Utama bisa kita koreksi dan luruskan :
a.
Meskipun Bima dan Arjuna adalah panglima perang andalan Pandawa, yang menjadi
raja di Amartapura adalah Puntodewa/Judistira dibantu penasehat Sri Kresna dan
Semar.
b.
Bima dan Arjuna selalu akan tunduk pada perintah sang kakak/sang raja
Puntadewa/Judistira. Tidak akan maju perang atas maunya sendiri.
c.
Bima dan terutama Arjuna selalu mendapat nasehat dari Sri Kresna dan bimbingan
dari Semar maupun punokawan yang lainnya.
Secara
simbolik bisa diartikan :
a.
Ksatria Utama dalam hal ini Bima dan Arjuna sebagai refleksi dari ABRI tidak
pernah mempunyai kekuasaan yang mutlak. Dia akan selalu tunduk pada
kepemimpinan eksekutif sang kakak yang memerintah dengan asas etika yang luhur.
b.
Tidak ada sedikitpun ambisi dari Bima dan Arjuna untuk menggantikan sang kakak
menjadi raja. Menyadari bahwa peran utamanya adalah sebagai Ksatria Utama.
c.
Bima dan terutama Arjuna sangat dekat dengan Semar sebagai lambang rakyat
sehingga tidak mungkin menganiaya rakyat atau memusuhi rakyat (kalau ini
terjadi, dalam pewayangan Semar tetap akan menang)
d.
Bima dan Arjuna selalu tunduk dan meminta nasehat Sri Kresna dan tidak mungkin
untuk menggantikan peranan Sri Kresna dengan dirinya sendiri. Bagi Ksatria
Utama – Indonesia yang Jawa yang kebetulan membaca tulisan ini, mohon
direnungkan apakah peranan dwifungsi ABRI yang sedang dilaksanakan saat ini
memang sudah sesuai dengan prinsip Ksatria Utama seperti yang pernah diajarkan
nenek moyang kita dalam dunia pewayangan atau memerlukan koreksi sehingga jangan
sampai membawa “karma” yang negatif terutama dalam bersikap menghayati nurani
rakyat – dan kenyataannya ABRI juga berasal dari rakyat. Jangan sampai
interpretasi secara dangkal peranan ganda Bima dan Arjuna didalam pewayangan
hanya diterjemahkan satu sisi yang menguntungkan saja karena mendapatkan
kekuasaan tambahan dan rejeki tambahan tanpa melihat sisi lain dari hubungannya
dengan Yudistira, Sri Kresna, dan Semar maupun sifat2 utama yang harus
dikembangkan dan dipegang teguh berkaitan dengan etika sebagai Ksatria Utama.
“Wayang purwo / kulit” adalah sumber yang
tidak pernah kering untuk sarana refleksi bagi seseorang sebagai individu,
sebagai pemimpin, sebagai ksatria atau apapun peran sosial dari seseorang di
masyarakat yang dalam cerita/lakon yang diceritakan maupun tokoh-tokohnya
mengajarkan pada kita :
1.
Pada akhirnya peran seseorang harus diuji terhadap nilai etika antara perbuatan
yang baik dan yang buruk.
2.
Apapun perbuatannya baik atau buruk seseorang akan menanggung “karma” nya
sendiri-sendiri.
3.
Nilai2 yang ideal agar kita berusaha secara optimal untuk mencapainya.
4.
Nilai religius yang terdalam bahwa apapun yang terjadi hanya akan terjadi atas
kehendakNya.
porsi
pendidikan etika maupun perbuatan etika yang luhur tidak pernah mendapat porsi
utama dalam pembangunan bangsa yang secara simbolik didalam pewayangan justru
menjadi faktor yang utama sehingga menunjang terjadinya unsur “panjang-punjung”
– panjang berarti termasyur dan punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tingi
– didalam negara / masyarakat ideal yang akan menjadi contoh untuk negara lain
betapa tingginya etika yang dijunjung oleh bangsa Indonesia, dan tidak perlu
dengan susah payah selalu membantah bahwa “tidak pernah ada korupsi dan kolusi
di Indonesia”, “pelaksanaan hak-hak asazi manusia di Indonesia sudah sesuai
dengan budaya bangsa Indonesia sendiri” dan banyak faktor etika yang lainnya
yang selalu membuat malu bangsa Indonesia dan sorotan negatif didalam pergaulan
international yang se-mata-mata bukan Indonesia sebagai bangsa dan negara
tetapi lebih disebabkan oleh tingkah-laku dari pimpinan-pemimpin Nasional Orde
Baru pada tingkat yang mayoritas.
6.1
pengaruh dalam bidang industrialisasi dan lingkungan
Dalam masa pemerintahan orde baru terdapat upaya REVOLUSI
HIJAU dan INDUSTRIALISASI yang
menimbulkan perubahan teknologi dan lingkungan di berbagai daerah :
1.
Revolusi Hijau.
Revolusi
Hijau merupakan revolusi biji-bijian dari hasil penemuan ilmiah berupa benih
unggul dari berbagai varietas gandum, padi, dan jagung yang membuat hasil panen
komoditas tersebut meningkat di begara-negara berkembang. Revolusi hijau lahir
karena masalah pertambahan penduduk yang pesat. Pertambahan penduduk harus
diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian.
Upaya peningkatan produksi pertanian
digalakkan melalui :
a. Pembukaan lahan pertanian
baru
b. Mekanisasi pertanian
c. Penggunaan pupuk baru
d. Mencari metode yang tepat
untuk pemberantasan hama
setelah
berkembang Masyarakat Indonesia yang agraris menjadikan pertanian sebagai
sektor penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini
didasari oleh :
a. Kebutuhan masyarakat yang
meningkat dengan pesat
b. Tingkat produksi
pertanian yang masih sangat rendah
c. Produksi pertanian belum
mampu memenuhiseluruh kebutuhan masyarakat.
Untuk meningkatkan produksi
pertanian pemerintah mengupayakan :
a. Intensifikasi
b. Ekstensifikasi
c. Diversifikasi
d. Rehabilitasi
2.
industrialisasi
Dalam kekuasaan pemerintahan orde baru program
industrialisasi mulai berkembang diantara indusrialisasi yang dilakukan adalah
:
a. Industri Pertanian
- Industri pengolahan hasil
tanaman pangan termasuk hortikultura
- Industri pengolahan hasil
perkebunan
- Industri pengolahan hasil
perikanan
- Industri pengolahan hasil
hutan
- Industri pupuk
- Industri Pestisida
- Industri Mesin dan
peralatan pertanian
b. Industri Non Pertanian
- Industri Semen
- Industri Besi baja
- Industri Perakitan
kendaraan bermotor
- Industri elektronik
- Industri kapal laut
- Industri Kapal terbang
2. Kelebihan dan kekurangan pemerintahan
orde baru
Kelebihan :
-
Perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.565
-
Suksesnya program transmigrasi
-
Suksesnya program keluarga berencana
-
Sukses program pemberantasan buta huruf
-
Suksesnya swasembada pangan
-
Pengangguran minimum
-
Suksesnya REPELITA (Rencana Pembangunan Lima
Tahun)
-
Sukses Gerakan Wajib Belajar
-
Suksesnya Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
-
Suksesnya keamanan dalam negeri
-
Investor asing mau menanamkan modal di
Indonesia
-
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan
cinta produk dalam negeri
Kekurangan :
-
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
-
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan
timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
-
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah
daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
-
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan
para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
-
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan
pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
-
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi
(terutama masyarakat Tionghoa)
-
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
-
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibredel
-
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
-
Tidak ada rencana suksesi (penurunan
kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
-
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang
terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru
karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
-
Menurunnya kualitas tentara karena level elit
terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
-
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari
70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
3. Runtuhnya kekuasaan orde baru
Penyebab utama
runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter ( krisis financial
asia ) tahun 1997.
Sejak tahun
1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan
yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara
kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu
me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat
keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto,
Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian
diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut,
Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi
Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD,
UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi
belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam
Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada
tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi
4. Pasca orde baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir.
Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai
"Era Pasca Orde Baru".
Meski
diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur,
transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar
dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia.
Hal ini tak lepas dari peran Habibie
yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat
menghadapi perubahan zaman
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada
awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigran
.KESIMPULAN
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Orde baru merupakan sebuah istilah yang
digunakan untuk memisahkan antara masa
kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) dengan masa kepemimpinan Soeharto.
2.
Orde baru dilatar belakangi adanya G 30 S PKI
yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan presiden soekarno ( orde lama )
3.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan orde baru terhadap politik diantaranya :
a. Adanya
penataan politik dalam negri
b. Adanya
politik luar negri yang bebas aktif
4.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan orde baru
terhadap bidang ekonomi dan pembangunan antara lain :
a. Adanya
stabilitas dan rehabilitas ekonomi Negara
b. Terjalinya
kerja sama dengan luar negri
c. Adanya
pembangunan nasional, diantaranya pembangunan lima tahun ( pelita ) yang dinilai cukup
berhasil
5.
Pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru terhadap
bidang sosial antara lain :
a. Mementingakan
persatuan nasional
b. Pertumbuhan
dan mobilitas penduduk teratur
6.
Pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru terhadap masyarakatan dan kebudayaan antara lain :
a. Kebijakan
terhadap bahasa,sastra,agama,etnis,pendidikan dan kesenian
b. Lestarinya
kesenian wayang yang kuat
7.
Faktor utama yang menyebabkan runtuhnya
kekuasaan pemerintah orde baru adalah adanya krisis vinancial asia
DAFTAR
PUSTAKA
Alfandi, widajo.2002.orde baru dan reformasi Indonesia.yogyakarta
: university press
Djoened,marwati,dkk.1993. sejarah nasional jilid 6. Jakarta : pustaka
Ecip,s.sinansari.1998.kronologi penggulingan soeharto. Bandung
: mizan
Gaffar, fan.2004.politik Indonesia. Yogyakarta : pustaka
pelajar
Foushan, geof. 2002.indonesia pasca soeharto. Yogyakarta :
tojidu press
Norma,ahmad.1998.zaman edan. Yogyakarta : bentang
Hasbuan,arbet. 1996. Titik pandang orde baru. Jakarta :
pustaka
.
.