Monday, 28 May 2012

pengaruh kekuasaan orde baru





BAB I
PENDAHULUAN
a.   Latar belakang
Dengan ditandainya  lengsernya presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup, karena peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI sehingga terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap anggota PKI diberbagai daerah di Indonesia. Kemudian Soekarno dituntut untuk menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Supersemar yang berisikan tentang perintah kepada Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Kemudian surat itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh untuk mengambil alih kekuasaan yang ada di Negara RI
Selanjutnya orde baru dikukuhkan dengan sebuah sidang MPR yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah  mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI beserta ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Pada  permulaan pemerintahan orba banyak hal-hal yang dilakukan untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.
          Pada masa pemrintahan orba banyak terjadi masalah-masalah yang mungkin oleh orang awam tidak diketahui akan tetapi banyak juga  penyelamatan masalah-masalah yang diwariskan pada zaman orde baru oleh pemerintahan pada zaman orde lama . Pada zaman ini banyak sekali pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan tidak sedikit yang berhasil. Maka zaman orba sering disebut juga zaman pembangunan.
b.   Tujuan penulisan
1.    Memberikan pemahaman tentantang uraian proses terjadinya pemerintahan orde baru
2.    Memberikan gambaran tentang rezim kekuasaan pemerintahan orde baru
3.    Memberikan penjelasan tentang pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru baik dalam bidang politik,ekonomi,sosial,masyarakat dan kebudayaan sampai pada awal keruntuhan kekuasaan orde baru 

BAB II
PEMBAHASAN

1.Gambaran umum
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara  masa kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) dengan masa kepemimpinan Soeharto.     ( orde baru ) Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru muncul ditandai dengan lengsernya presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup karena peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI sehingga terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap anggota PKI diberbagai daerah di Indonesia. Sehingga Soekarno dituntut untuk menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Supersemar yang berisikan tentang perintah kepada Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Kemudian surat itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berusaha untuk menyusun kembalikekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
 Melalui Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967. Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Pebruari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telahmenyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret1968 Soeharto diangkat sebagai presiden republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968,
Presiden Soeharto memulai kepemimpinanya ( Orde Baru ) dalam dunia politik Indonesia setelah menjadi jendral TNI  dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara Indonesia. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada  permulaan pemerintahan orde baru banyak hal-hal yang dilakukan untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % . Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Pada masa kepemimpinan soeharto ( orde baru ) pengeksploitasian sumber daya alam yang dilakukan  secara besar-besaran yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun  hal itu dianggap tidak merata dikarnakan kemiskinan pada waktu itu juga masih tinggi
1.1 upaya lahirnya pemerintahan orde baru
-  Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
-  Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
-  Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
-  Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna   mempercepat proses pembangunan bangsa.
2.1 upaya untuk melaksanakan pemerintahan orde baru
1.    Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
2.    Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
3.    Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga Negara

3.1 Faktor-faktor yang menjadi dasar terbentuknya lahirnya orde baru
1.    Adanya gerakan G 30 S PKI
2.    Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30      September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3.    Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.    Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5.    Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6.    Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1) Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
2) Pembersihan Kabinet Dwikora
3) Penurunan Harga-harga barang.
7.    Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.    Wibawa dan kekuasaan presiden Soekarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9.    Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi LetjenSoeharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan

4.   Objek kajian
Dalam penulisan makalah ini penulis mengkaji tentang “ PENGARUH KEKUASAAN PEMERINTAHAN ORDE BARU “ 
1.   Pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru
dalam kekuasaan pemerintahan orde baru yang di pimpin oleh soeharto mulai menunjukkan perananya dalam menjalankan roda pemerintahan, dalam kekeuasaanya orde baru sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Indonesia .
diantara pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru yang dapat kita ketahui antara lain :
1.1 pengaruh terhadap bidang politik
            Dalam bidang politik pengaruh kekuasaan pemerintahan  orde baru sangat tinggi sesuai dengan upaya lahirnya pemerintahan orde baru  yaitu menata kembali seluruh aspek kehidupan rakyat dan Negara, diantara pengaruh-pengaruh kekuasaan pemerintahan orde baru  dalam bidang politik sebagai berikut :


a.    Adanya penataan politik dalam negri
Penataan politik dalam negri yang dilakukan oleh pemerintah orde baru meliputi :
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
            Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut. :
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya dibentuk abinet baru dengan nama cabinet pembangunan dengan tujuan :
-       Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
-       Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
-       Pelaksanaan Pemilihan Umum
-       Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September
-       Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI

3. Terlaksananya Pemilihan Umum
            Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

1) Pemilu 1971
            dalam pemilu 1971 ada beberapa aturan-aturan tertentu :
a.    Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal
b.    Oranisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
c.    Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
d.    Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) pemilu 1977  
            Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.

3) Pemilu 1982
            Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.

4) pemilu 1987
            Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
a.    PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
b.     Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
c.    PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
            Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.

6) Pemilu 1997
            Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya :
- Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
- PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
- PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung,Umum, Bebas, dan Rahasia).Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
3. adanya Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
            Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
- Golongan Karya (Golkar)

b.    Adanya penataan poltik luar negri bebas aktif
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
Sedangkan upaya-upaya pemerintah dalam penerapan politik luar negri bebas aktif meliputi :

1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri  terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.  
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa Negara
a. Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik.
b.Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
1.    Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2.    Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
3.    Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara
c. pembekuan hubungan dengan RRC
            Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[rujukan?] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking
c.    Adanya peran ganda ( dwi fungsi ) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan.
    
                                                  Jendral nasution
                                    ( pengagas dwi fungsi abri )
d.    Adanya dinamika ketegangan politik ( jama’ah, non jama’ah, pemerintah )
          Pada masa orde baru,ketegangan politik laten yang bersifat horizontal,antara santri dan abangan,semakin memudar. Atau, kalau pun ada, ketegangan tersebut di bawah permukaan dan terkubur oleh berbagai peristiwa keseharian. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa ketegangan politik sama sekali tidak ada. Ketegangan paling menonjol pada periode orde baru lebih bersifat vertical,yakni antara masyarakat desa dan pemerintah.
         Terdapat tiga sub-kelompok utama yang biasanya mewakili masyarakat menentang kebijakan pemerintah. Yang pertama adalah kelompok Muslim fanatic,kedua para pendukung Partai Persatuan Pembangunan(PPP), dan ketiga para pendukung Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun demekian, pada penjelasan ketegangan politik ini akan difokuskan pada ketegangan politik antara santri dan pemerintah.Dalam hal ini, kelompok santri terdiri dari Muslim fanatic dan para pendukung PPP.
         .
          Bagi pemerintah Orde Baru, antara 1966-1974 mungkin dapat dipandang sebagai masa transisi. Baru saja rezim ini berkuasa dan kebijakan politiknya masih bersifat sementara. Sepanjang periode itu, partai-partai politik lama-kecuali Partai Komunis Indonesia(PKI)-masih aktif, sementara partai politik baru mulaibermunculan. Ini merupakan masa terjadinya kebingungan politik di desa. Antara 1965-1966, wacana politik di desa masih diwarnai berbagai perisiwa kekerasan politik. Bagi kelompok Muslim non-jama’ah, masih ini dianggap sebagai masa ketakutan.
           kelompok Muslim non-jama’ah yang sudah tidak lagi aktif dalam gerakan PKI-merasa sangat cemas. Mereka khawatir adanya kekerasan politik yang dilancarkan kelompok santri disekitar desa. Mereka takut kelompok jama’ah akan membunuh seluruh penduduk desa yang tidak melaksanakan shalat.Karena itu, beberapa orang dari kelompok Muslim non-jama’ah bergabung dengan kelompok jama’ah di masjid untuk melaksanakan shalat. Karena itu, beberapa orang dari kelomok Muslim non-jama’ah bergabung dengan kelompok jama’ah di masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at dan Maghrib.Anak-anak mereka juga bergabung dengan anak-anak kelompok jama’ah untuk mengaji bersama di masjid atau langgar. Semua tokoh-tokoh kelompok jama’ah menerima yang bergabung shalat berjama’ah secara terbuka. Karena itu, tidak mengherankan bahwa pada periode ini masjid-masjid dan langgar-langgar di desa dipenuhi oleh penduduk desa. Namun tidak semua anggota kelompok non-jama’ah bergabung dalam kegiatan kelompok jama’ah. Banyak dari masih enggan untuk ke masjid, bahkan beberapa di antara mereka masuk agama Kristen dan pergi ke gereja di luar desa.
           Sedangkan bagi kelompok jama’ah, periode ini dianggap sebagai masa penuh harapan.Menurut Jayadi pada 1965, masa antara 1965 sampai 1966 memang dipandang sebagai tahun penuh harapan. Hampir seluruh kelompok jama’ah di desa mengharapkan pemerintahan Orde Baru akan sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan umat Islam, karena mereka telah memainkan peranan penting dalam menghancurkan PKI di desa (lihat Sidney Jones, 1984-30-31). Tidak bisa dipungkiri,bahwa generasi muda Islam di desa terlibat secara langsung dalam mengeliminasi aktivis PKI.mereka mengejar, menculik, menahan dan membunuh para aktivis PKI yang menurut pandangan kelompok jama’ah-mengancam eksestensi Islam. Oleh karean itu, ketika anggota Muslim non-jama’ah datang berduyun-duyun ke masjid, kelompok santri secara terbuka menerima mereka. Banyak warga desa yang mengaharapkan berakhirnya gangguan dan ketegangan politik.
           Banyak kalangan percaya bahwa integrasi Muslim non-jama’ah ke dalam kelompok jama’ah telah meredakan ketegangan politik horizontal antar kelompok Muslim di desa. Ada beberapa alasan meredamnya ketegangan politik tersebut. Pertama, PKI beserta berbagai organisasi underbow-nya, yang telah mengorganisir beberapa orang kelompok Muslim non-jama’ah di desa ini, dilarang pemerintah.Selain itu, para pemimpinnya di desa juga telah dipenjara, melarikan diri atau dibunuh. Ini berarti bahwa PKI tidak akan memobilisasi kelompok Muslim non-jama’ah. Kedua, identitas cultural kelompok non-jama’ah yang paling penting,kepunden, telah dihancurkan anggota jama’ah.,
           kelompok non-jama’ah di desa ini senantiasa menyelenggarakan slametan bersama setiap tahun di sekitar kepunden. Dengan hilangnya tempat slametan  kelompok non-jama’ah, identitas cultural mereka menjadi kabur. Ketiga, seluruh anggota non-jama’ah dan jama’ah ditarik pemerintah untuk mendukung Golkar, partai yang disponsori pemerintah. Akibatnya, kedua kelompok ini kemudian sama-sama berada di bawah control tokoh-tokoh teras Golkar. Hal ini berarti bahwa ketegangan politik antara kelompok non-jama’ah dan jama’ah telah dinetralisasi pemegang kekuasaan.
           Sementara ketegangan antara kelompok jama’ah dengan non-jama’ah dapat dinetralisir, ketegangan politik antar kelompok jama’ah sendiri menjadi tampak, yakni antara mereka yang mendukung partai-partai Islam (NU dan Parmusi) dengan mereka yang mendukung Golkar. Tingkat ketegangan politik antara mereka bersifat pasang surut, tergantung iklim politik. Ketegangan politik seperti itu umumnya muncul bersamaan dengan masa berlangsungnya pemilu.
           PSM kembali ke panggung politik ketika partai politik baru (Golkar dan Parmusi)muncul pada masa Orde Baru. Meski demikian, PSM terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pendukung Parmusi, partai Islam baru, dan kelompok pendukung Golkar, partai pemerintah. Tetapi para pendukung Parmusi perlahan-lahan lenyap karena beberapa pemimpinnya terjebak dalam gerakan fundamentalis, Komando Jihad, yang dituding pemerintah sebagai penentang Pancasila.Gerakan itu pada akhirnya dihapuskan pemerintah pada pertengahan 1970-an dan pemimpinnya dipenjara.
            Walaupun Golkar telah didukung oleh kelompok jama’ah, terutama PSM, pada pemilu pertama pada masa Orde Baru,(1971), Golkar masih menemui kesulitan dalam menguasai anggota kelompok jama’ah. Hal ini tidak hanya karena sebagian besar pemimpin Muslim tradisional dibawah pengaruh partai Islam NU, tetapi juga sebagian besar pemimpin pemuda Muslim modernis mendukung partai Islam lain, Parmusi. Semua Kyai dan pemuda Muslim modernis mengklaim Golkar sebagai partai gado-gadoyang tidak merepresentasikan kepentingan politik Islam. Oleh Karena itu, kebanyakan anggota kelompok jama’ah menentang Golkar beserta orang-orang yang berkampanye untuk Golkar.
           komunitas Muslim jama’ah pada permulaan Orde Baru relative aman dan dilindungi pemimpinnya. Mereka memberi dukungan penuh pada partai Islam. Kelompok jama’ah percaya bahwa pemerintah tidak akan memberangus partai-partai Islam karena para aktivis Muslim jama’ah telah mendukung pemerintah dalam menghapuskan PKI. Oleh karena itu, komunitas jama’ah pada 1971 masih merupakan kesatuan yang utuh dalam mendukung partai Islam
           Sejak 1974 sampai 1983 merupakan masa konsolidasi politik bagi Orde Baru. Konsolidasi ini melibatkan pemerintah dalam menata kekuasaanya melalui manuver-manuver politik guna mengurangi kekuatan partai-partai politik, pada saat bersamaan mendukung mesin Golkar untuk mengontrol kelompok Muslim jama’ah di setiap lapisan masyarakat.
           Di tingkat nasional, di antara maneuver politik pemerintah paling penting pada masa ini adalah kebijakan massa mengambang (floating mass), yang diperkenalkan sebelum pemilu 1977. Gagasan kebijakan ini adalah bahwa massa, khususnya di desa-desa, menjadi pemilih “mengambang” yang boleh mengekspresikan pilihan politiknya hanya pada saat pemilu. Dengan konsep “masa mengambang” partai yang memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten harus ditutup. Pada saat pemilu, masa di tingkat desa tidak diganggu oleh hingar-bingar politik dan agitasi.Konsep ini diharapkan akan melindungi warga desa dari perpecahan yang disebabkan kompetisi partai politik, dan mendorong mereka mencurahkan energi kepada pembangunan(Crouch,H., 1994:64,Amal,I., dalam Bourchier, D&Legge,1994:218, dan Holland, 1994: 12). Akibat dari kebijakan ini, konsep massa mengambang secara formal menghilangkan basis dukungan politik bagi partai-partai di tingkat desa, dan karenanya hubungan vertikal dalam patronase politik tradisional terputus. Dengan kata lain, kebijakan ini merusak patronase politik tradisionalyang menghubungkan kepentingan politik penduduk desa pusat-pusat politik di tingkat nasional. 
           Menurut perspektif teori elit, kebijakan massa mengambang dianggap sangat diperlukan. Silalahi (1990: 36-38), misalnya, membuktikan bahwa politik massa mengambang merupakan keniscayaan untuk memantapkan stabilitas politik di Indonesia, karena ia bertujuan mencegah massa dari keterikatan menjadi anggota partai-partai politik. Kebijakan ini diperkenalkan menyusul pengalaman-pengalaman sebelumnya yang negatif dan destruktif ketika partai-partai politik memperoleh kebebasan memobilitasi dukungan massa. Salah satu sebab dari peristiwa 1965/1966 yang traumatik itu misalnya, adalah bahwa orang tidak menyadari terhadap berbagai konsekwensi menjadi anggota sebuah partai politik. Kebanyakan hanya mengikuti teman-teman mereka saat datang dan pergi mengikuti pertemuan-pertemuan. Silalahi menjelaskan bahwa di massa Orde Lama, rakyat di desa cenderung tidak rasional. Mereka dijanjikan yang muluk-muluk tanpa ada realisasinya; mereka dilibatkan dalam konflik ideologis dan politik antar partai-partai politik. Keterlibatan penduduk desa dalam konflik politik dan ideologis ini mengabaikan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka sendiri.
           Dari perspektif ini, Silalahi berpendapat, tujuan kebijakan massa mengambang adalah untuk membuat rakyat sadar akan kehidupan politik. Artinya, setiap warga mempunyai hak untuk menjadi anggota sebuh partai politik dan secara aktif mendaftarkan diri mereka sendiri secara sukarela. Karena itu, keanggotaan rakyat dalam sebuah partai politik didasarkan kepada kesadaran mereka sendiri dan tidak didasarkan pada hubungan-hubungan primordial. Dalam sistem massa mengambang, rakyat menyatakan aspirasi politiknya lewat Pemilu. Setelah Pemilu, kecuali bagi anggota partai, gerak massa rakyat tidak lagi dibatasi pilihan mereka terhadap satu partai apa pun dalam pemilu, karena tidak ada faktor yang mengikat mereka pada sebuah partai politik tertentu. Keputusan rakyat untuk memilih sebuah partai politik dalam pemilu didasarkan pada program dan platform setiap partai politik  pada kampanye. Jika partai tidak memenuhi program atau komitmen mereka, rakyat dapat memilih partai lain dalam rangkaian pemilu berikutnya. Tidak ada ikatan permanen pada partai-partai tertentu selanjutnya akan mendorong mereka untuk memperkenalkan program terbaiknya pada setiap pemilu. Secara teoritis, partai politik yang mempunyai program paling baik akan menang pada saat pemilu. Dalam perspektif ini, esensi kebijakan massa mengambang adalah kesadaran rakyat akan politik. Menurut Silalahi, kebijakan ini adalah logis dan rasional, karenanya akan mendapatkan tempat di Indonesia.

 
Kelompok jama’ah pada masa orde baru

2.1 pengaruh terhadap budaya politik  
           Menurut Ranney, budaya politik merupakan bertemunya hasil pelembagaan yang ada di dalam diri manusia dengan hasil pelembagaan pada pihak lain. Sebagai contoh, orientasi masyarakat terhadap budaya suap (kecenderungan orang untuk memberi tips kepada petugas dalam mempermudah urusannya).
Transnasionalisasi budaya politik diantaranya, arus globalisasi akibat revolusi informasi dan teknologi memungkinkan terjadinya “pengaburan” atau bahkan “penghapusan” batas-batas budaya antar bangsa atau antar negara. Globalisasi menjadi sarana terjadinya transnasionalisasi budaya politik dari tingkat lokal, nasional, hingga global. Isu budaya lokal menjadi perhatian berbagai kelompok di lintas negara, sebaliknya isu global (demokrasi atau lingkungan hidup) menjadi diskusi yang intensif di suatu komunitas lokal .
Menurut Clifford Geertz, budaya politik di Indonesia yaitu masyarakat Jawa dibedakan menjadi kaum priyayi, abangan, dan santri. Moderenisasi memfasilitasi pembentukan atau perubahan kebudayaan politik. Budaya politk local tersubordinasi karena sentralisasi, kemudian kebudayaan lokal muncul dan menguat karena desentralisasi atau demokratisasi.
Dinamika perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengaruh zaman  dalam proses sejarah, munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam birokrasi baru.
Akar budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan perekonomiannya.
Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang  sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. Oleh karena itu, kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan. Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarkis dan otoriter.
R.W. Liddle berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia  pada era Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta penyokongnya. Oleh karena itu, birokrasi yang berjalan merupakan bentuk patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada para pendukungnya, para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini dibagi-bagikan itu berwujud, antara lain, jabatan dalam pemerintahan, jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan lisensi impor dan ekspor.
Disamping sistem patrimonial, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian kultural antara abangan dan santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan memberi gelar raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java. Namun, setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri atau ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian itu sering menimbulkan konflik kultural antara raja dan perangkat birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini raja (birokrasi atau priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri.
Konflik kekuatan kultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukkan kekuatan kultural, santri dan abangan.
Penguasa militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi kultural abangan dan priyayi, dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung  oposisi santri dengan depoltisasi. Di Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran serta sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin lainnya dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk menghadapi tuntutan golongan Islam.
Dalam mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit mengalami pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut. Diluar partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun selalu mendapat  perhatian khusus dan pengawasan yang ketat. Sering munculnya letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok Islam, seperti kasus Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priok. Apakah peristiwa tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena ketidakpuasan dengan birokrasi, atau merupakan sebuah skenario untuk memancing kelompok Islam berbuat destruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan menekannya.
Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):
1. Konfigurasi sub kultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keanekaragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
2. Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
3. Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
4. Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
5. Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Varibel-variebel tersebut di atas terjalin satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.
Bentuk-bentuk mempolitisasi agama ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan menggunakan dari ayat-ayat tertentu dari agama yang dapat membenarkan tindakan yang dilakukan dan dua dengan mengerahkan massa turun ke jalan, apakah itu dalam bentuk demonstrasi atau pawai dijalanan istilah lainnya “tekanan dari jalanan”.
           
3.1 pengaruh terhadap bidang ekonomi dan pembangunan
pada masa pemerintahan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut :

1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
-       Memperbarui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.  
-       Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan.
-       Mengadakan operasi pajak
-       Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
-       Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
-       Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

2. Kerja Sama Luar Negeri
Dalam upaya memulihkan ekonomi Negara pada pemerintahan orde baru juga melakukan kerja sama dengan luar negri diantaranya :

- Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Kemudian dapat disepakati dan menghasilkan hal-hal berikut :
1.    Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
2.    Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3.    Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4.    Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit
.- Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
3. pembangunan nasional
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu  :  
1.         Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2.         Meningkatkan kesejahteraan umum
3.         Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.         Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
1.    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
2.    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Sedangkan delapan jalur pemerataan yang dilakukan pemerintah orde baru meliputi :
1.    Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan
2.    Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3.    Pemerataan pembagian pendapatan.
4.    Pemerataan kesempatan kerja
5.    Pemerataan kesempatan berusaha
6.    Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7.    Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8.    Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Sealnjutnya Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu :

1. Pelita I
            pelita I Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I     : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I   : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

2. Pelita II
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.

 3. Pelita III
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
1.    Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya kebutuhan sandang pangan  
2.    Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3.    Pemerataan pembagian pendapatan
4.    Pemerataan kesempatan kerja
5.    Pemerataan kesempatan berusaha
6.    Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
7.    Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
8.    Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

4.Pelita IV
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.

5. Pelita V
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

6. Pelita VI
            Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.

     
Gambar pembangunan pada masa orde baru
4.1 Pengaruh terhadap bidang sosial
Dalam masa kekuasaan pemerintahan orde baru terdapat pengaruh-pengaruh dalam bidang sosial antara lain :
a.    Mementingkan persatuan nasional
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan, Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran. ( cataan )

b.    Pertumbuhan dan mobilitas penduduk teratur
Menurut  Edward Ullman ada 3 faktor yang mempengaruhi timbulnya interaksi kota, yaitu :
1. Adanya wilayah yang saling melengkapi
2. Adanya kesempatan untuk berinteraksi
3. Adanya kemudahan transfer/pemindahan dalam ruang
Dalam kaitannya dengan interaksi kota tersebut, maka mobilitas penduduk dapat diartikan sebagai suatu perpindahan penduduk baik secara teritorial ataupun geografis. Hubungan timbal balik antara kota dengan kota maupun antara kota dengan desa dapat menyebabkan munculnya gejala-gejala yang baru yang meliputi aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Gejala ini dapat bersifat positif ataupun negatif bagi desa dan kota.
Selanjutnya dalam masa kekuasaan pemerintahan orde baru terdapat pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia, untuk mengetahui munculnya pusat-pusat Pusat-Pusat pertumbuhan di Indonesia terdapat 2 teori yaitu :
1. Teori Tempat Sentral ( central place theory ) oleh Walter Christaller
Bahwa Pusat lokasi aktivitas yang melayani berbagai kebutuhan penduduk harus berada di suatu tempat sentral yaitu tempat yang memungkinkan partisipasi manusia dengan jumlah yang maksimum.Tempat sentral itu berupa ibukota kabupaten, kecamatan, propinsi ataupun ibukota Negara. Masing-masing titik sentral memiliki daya tarik terhadap penduduk untuk tinggal disekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda.
2. Teori Kutub Pertumbuhan ( Growth Pole Theory ) oleh Lerroux
Bahwa pembangunan yang terjadi di manapun tidak terjadi secara serentak tapi muncul pada tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan identitas yang berbeda. Kawasan yang menjadi pusat pembangunan dinamakan pusat-pusat atau kutub-kutub pertumbuhan. Dari kutub inilah proses pembangunan menyebarke wilayah-wilayah lain di sekitarnya.
Faktor penyebab suatu titik lokasi menjadi pusat pertumbuhan
Suatu titik lokasi menjadi pusat pertumbuhan disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kondisi fisik wilayah
2. Kekayaan sumber daya alam
3. Sarana dan prasarana transportasi
4. Adanya industry

5.1 pengaruh terhadap kemasyarkatan dan kebudayaan
          Pada masa kepemimpinan orde baru terdapat pengaruh-pengaruh dalam sosial culture diantaranya :
a.    Kebijkan dalam suatu kebudayaan oleh pemerintah
Tim peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dipimpin oleh Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Riwanto Tirtosudarmo dan melibatkan Anas Saidi, Muridan Widjoyo, Tung Yu Lan, Dedi Aduri, Makmuri Sukarno, dan lain-lain mencakup enam bidang kebudayaan yang dinilai memiliki arti strategis, yakni bahasa, sastra, agama, etnis, pendidikan dan kesenian 
Rezim Orde Baru lebih menjadikan kebudayaan sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan ketimbang menjadikannya sebagai pusat pengembangan kesadaran masyarakat. Berbagai intervensi, sensorship, diskriminasi etnis, monopoli  penafsiran dan pemaknaan bahasa, politisasi agama, dilakukan negara guna melegitimasi kekuasaan belaka.
Memang, yang diteliti oleh LIPI adalah policy atau kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan kebudayaan. Bukan 'kebudayaan Indonesia' yang dirunut Nirwan Dewanto dalam Kongres Kebudayaan 1991, yang menyebutkan bahwa setiap manusia berpotensi menciptakan kebudayaan
Diantara garis besar dalam penelitian LIPI meliputi :
1.    Dalam bidang bahasa
Rezim Orde Baru telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai 'alat ketertiban'. Kebijakan bahasa Indonesia digunakan sebagai alat pembentukan berfikir, bersikap, dan bertindak yang menunjang pembangunan nasional.
Kebijakan bahasa Indonesia telah diposisikan sebagai instrumen kekuasaan Orde Baru, yang tujuan akhirnya untuk memelihara dan meningkatkan legitimasi kekuasaan.
Efek makna yang utama dari strategi bahasa adalah bahwa segala hal yang baik dan benar adalah berasal dari negara. Dalam upaya membangun mitos diri sebagai 'orde kebajikan', Orde Baru juga menciptakan mitos-mitos tentang oposisi Orde Baru, yakni Orde Lama, yang dikonotasikan sebagai 'orde keburukan'.
Politik bahasa Orde Baru yang bertujuan membentuk cara berfikir, bersikap, dan bertindak untuk menerima Orde Baru sebagai 'orde kebajikan' disosialisasikan ke dalam politik bahasa selama lebih dari tiga dekade (32 tahun). Orde Baru juga mengadopsi dan memanfaatkan kata-kata dan makna-makna berdasarkan konteks politik yang ada, yang bersumber dari elemen-elemen yang hidup dalam masyarakat, untuk menunjang politik pemaknaannya.
Oleh karenanya, untuk membebaskan bahasa sebagai kepentingan legitimasi kekuasaan, perlu dibuka ruang publik untuk berekspresi, interpretasi yang beragam, dan toleransi atas perbedaan pemaknaan dan pemahaman.

2.    Dalam bidang sastra
Policy kebudayaan Orde Baru telah memposisikan sastra dalam posisi yang marginal. Posisi kesusastraan nyaris tidak tercakup dalam birokrasi kebudayaan. Posisi marginalisasi ini juga diperburuk oleh pemahaman dan apresiasi aparat terhadap kesusastraan.
Sementara kebijakan Orde Baru dalam bidang kesusastraan menunjukkan kuatnya semangat penyensoran dalam karya sastra yang dianggap 'tidak aman' atau berbahaya secara politik. Kebijakan Orde Baru yang toleran terhadap sastra yang tidak memasuki wilayah politik menggambarkan upaya yang kuat untuk meletakkan sastra sebagai instrumen ideologis.
Sejalan dengan konsep sastra yang 'aman' adalah kecenderungan untuk mensakralkan seni dan tradisi serta memanfaatkan kesusastraan untuk melakukan kontrol terhadap 'kebenaran'. Kebudayaan secara umum dan kesusastraan yang dianggap mengandung nilai-nilai luhur budaya dan bangsa dilestarikan. Pada saat yang sama, sastra menjadi bagian dari mekanisme ideologis untuk membangun definisi 'kebenaran' yang direstui pemerintah.
Menjamurnya komunitas sastra di berbagai wilayah pada dekade 90-an secara langsung merupakan respon dari para aktor sastra untuk mengisi berbagai kekurangan dan kevakuman dalam sistem sastra yang ada sekaligus merupakan perlawanan terhadap peran negara yang dominan. Ketidak mampuan pendidikan untuk menggairahkan apresiasi sastra ikut melemahkan kreativitas sastra hingga kini.
3.    Dalam bidang Keagamaan
Salah satu yang menonjol dalam kebijakan keagamaan dalam Orde Baru adalah kuatnya semangat negara untuk memanfaatkan agama sebagai legitimasi kekuasaan. Sementara paradigma yang dominan dalam merespon policy itu sangat dipengaruhi oleh wacana agama yang lebih mengedepankan artikulasi agama yang formalistik, legalistik, dan lebih mementingkan simbolisasi agama daripada substansi agama.
Akibatnya, hampir sepanjang sejarah Orba kisah kebijakan agama mencerminkan pertarungan ideologis dalam memperebutkan pendefinisian realitas.
Upaya berlebihan negara dalam memperjuangkan kepentingan ideologi sekulernya tidak pernah mendatangkan ideologi pluralisme agama, tapi malah semakin memperkuat hadirnya kecenderungan politisasi agama.
Sementara dalam kaitannya dengan hegemoni 'agama resmi' terhadap aliran 'sempalan' yang dianggap keluar dari mainstream, seringkali terjadi simbiosis mutualistik antara negara dan 'agama resmi'.
Atas nama 'agama resmi' pula negara sering melakukan penertiban terhadap aliran 'sempalan' yang lebih didasarkan atas alasan-alasan politik. Sedangkan atas nama negara, 'agama resmi' seringkali melakukan monopoli tafsir doktrin agama atas aliran 'sempalan', yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sebuah hegemoni.
Akibatnya, bukan saja terjadi marginalisasi terhadap agama di luar 'agama resmi', tapi ideologi pluralisme agama juga semakin kehilangan eksistensi di ruang publik.
Di tengah munculnya kembali semangat politisasi agama seperti yang terjadi sekarang, menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Jika organisasi agama lebih banyak melibatkan diri pada orientasi kekuasaan, maka penyalahgunaan agama sebagai kepentingan politik akan sangat sulit dihindarkan. Dan jika ini terjadi, maka agama sebagai faktor pemecah yang menjadi muara konflik sosial akan sulit dihindari.
Oleh karenanya, salah satu kemungkinan yang paling riil untuk menghadirkan ideologi pluralisme agama adalah dengan menjauhkan organisasi agama dari kepentingan kekuasaan, dan lebih mendekatkannya pada wilayah publik (civil society).

4.    Etnisitas
Kebijakan etnisitas yang lebih diwarnai obsesi berlebihan Orde Baru dengan penyeragaman kultural dalam merumuskan kepentingan negara, telah membawa implikasi terhadap bias kebijakan. Ketidakmampuan pemerintah membangun kesadaran akan perlunya satu kebudayaan yang memayungi kebudayaan-kebudayaan lokal -- yang mengikat kelompok-kelompok di daerah ke dalam kesatuan sosial dalam bingkai negara bangsa yang mempunyai satu identitas nasional -- akhirnya menimbulkan reaksi ketidakpuasan dari kelompok-kelompok sosial di daerah yang dibungkus oleh sentimen-sentimen etnisitas.
Dengan kondisi polarisasi ekonomi antara daerah dan pusat telah ikut merangsang semangat mempertegas etnisitas yang dapat difungsikan sebagai alat perlawanan dengan pusat, sekaligus menjadi sumber konflik sosial yang lebih bersifat horisontal. Kecenderungan seperti ini sangat rawan untuk memelihara kelangsungan masyarakat sipil (civil society).
Lebih lagi, Orde Baru juga melanggengkan hubungan-gubungan asimetris antar kelompok masyarakat melalui kebijakan-kebijakan diskriminatif. Sehingga kebijakan Orba telah mendorong isu etnisitas sebagai senjata ideologis dalam kontestasi kekuasaan antar pusat dan daerah, dan antar kelompok masyarakat, yang semakin menyuburkan konflik horizontal.
Oleh karenanya, sangat penting diciptakan berbagai level arena yang memungkinkan semua kelompok kepentingan untuk mendiskusikan dan menegosiasi kepentingan masing-masing secara setara.

5.    Dalam bidang Pendidikan
Kebijakan pendidikan di masa Orde baru tidak dapat dipisahkan pada kebijakan masa sebelumnya, Orde Lama, bahwa dalam pendefinisian pendidikan dalam UUD 45 memberikan peluang bagi penguasa untuk menggunakan sistem pendidikan bagi manuver ideologi, sehingga sistem pendidikan menjadi alat sosialisasi definisi identitas yang dirumuskan oleh rezim penguasa.
Orde baru yang sangat menonjolkan ideologi pembangunan sebagai orientasi utama, telah membawa konsekuensi atas hadirnya dua arah pelaksanaan konsep pendidikan yang dianggap menyeluruh. Di satu pihak, secara selektif materi pendidikan, khususnya dalam nilai-nilai, disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Di lain pihak, proses transformasi isi dan bentuk pendidikan, termasuk sekolah swasta, disesuaikan dengan ideologi pembangunan ekonomi yang diinginkan.
Akibatnya, di tinngkat pendidikan moral yang lebih mengutamakan pesan ideologis penguasa dan pendidikan agama yang lebih mengedepankan verbalitas atau ritual daripada substansi nilai, cenderung membawa fragmentasi berfikir anak dan memperkuat semangat primordialisme. Sedangkan intervensi berlebihan pemerintah terhadap pendidikan mengakibatkan lumpuhnya lembaga pendidikan yang dapat memberi pengetahuan yang relevan terhadap tuntutan perkembangan masyarakat.
Oleh karenanya, rencana pengembangan manajemen pendidikan berbasis sekolah harus bisa menjadi instrumen masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain itu, sistem tersebut harus dilengkapi dengan model community base education (pendidikan berbasis masyarakat)

6.    Dalam bidang kesenian
Kuatnya semangat birokrasi kesenian yang dicanangkan Orde Baru dengan kebijakan yang mengutamakan institusionalisasi kesenian, telah membuat upaya yang semula untuk menegaskan pluralisme kesenian, justru mengeleminasi keberagaman antar berbagai kesenian yang ada.
Birokrasi kesenian Orde Baru telah melakukan sensor kesenian untuk kepentingan negara, telah membuat keberagaman budaya semakin kehilangan eksistensinya.
Di sisi lain, upaya revitalisasi kesenian lokal oleh negara yang dimaksudkan untuk melestarikan budaya lokal, justru menjadi bumerang, karena strategi yang digunakan negara (revitalisasi), justru dilakukan juga oleh elite lokal untuk legitimasi dalam melakukan perlawanan terhadap negara.
Oleh karenanya, desentralisasi kemungkinan akan memperkuat peranan kesenian lokal sebagai bagian dari politik identitas
b.    Kebijakan pemerintah yang konyol
Seperti yang kita ketahui bahwa, Orde Baru menyelewengkan budaya Jawa menjadi kekuasaan yang represif. Perkara rambut gondrong ini menjadi salah satu praktik kekuasaan dari seorang “bapak” kepada “anak-anaknya”.  bahwa pemuda gondrong yang dimaksud, selain dianggap anak-anak yang perlu “diselamatkan” dari pengaruh budaya Barat, termasuk pemuda-pemuda kelas menengah-atas: anak-anak pejabat itu sendiri. Perkara keluarga pejabat ini—yang sampai di sini saja sudah konyol—lalu tumbuh subur ke berbagai pelosok kota besar Indonesia.  
Sebut saja sejumlah contohnya. Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, razia rambut gondrong dilakukan oleh polisi dan tentara di jalanan. Di Medan, bahkan dibentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) oleh Gubernur Sumatera Utara. Baik kepolisian maupun instansi publik menolak melayani orang-orang berambut gondrong. Jangan harap bisa bikin SIM, KTP, izin pertunjukan, izin rapat, surat keterangan bebas G30S/”PKI” kalau belum mampir tukang cukur.  
Selain itu, harian Pos Kota, sebagai corong Orde Baru pada masa itu, mencitrakan rambut gondrong dengan penjahat. TVRI menolak artis-artis berambut gondrong untuk tampil. Tapi grup musik The BeeGess di Medan pada 1973 boleh tampil gondrong, sementara penggemarnya yang gondrong dilarang ikut arak-arakan The BeeGees keliling kota oleh Pangdam II/Bukit Barisan. Sembilan orang pelajar SMAN 1 Medan dikeluarkan karena gondrong, tapi 31 siswa lainnya “dikecualikan” karena mereka anak-anak pejabat.
Ini praktik kekuasaan yang konyol, tentu saja, bahkan tolol. Ketika Orde Baru—yang ditegakkan lewat kudeta dan pembantaian massal—pada awal masa pemerintahannya membuka keran investasi asing sederas-derasnya, Orde Baru tidak memperhitungkan pengaruh kebudayaan Barat yang akan menjadi bumerang. Ketika pengaruh-pengaruh tersebut—yang sebagian besar diakses oleh pemuda kelas menengah-atas (yang adalah anak-anak pejabat sendiri)—tampak mengancam stabilitas negara, Orde Baru panik. Hubungan pemuda, yang semula sebagai “adik” yang diam-diam dimanfaatkan “kakak-kakak” militer untuk menumbangkan “Orde Lama”,  jadi renggang, dan “bapak” Orde Baru perlu “menertibkannya”.
“Buruk muka cermin dibelah” yang menggelikan itu, lalu jadi serius, hingga mengenaskan. Pada 6 Oktober 1970, seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad, ditembak mati oleh tentara. Hari itu diadakan olahraga persahabatan untuk meredam konflik soal rambut gondrong antara mahasiswa ITB dan tentara. Tapi hasilnya justru letusan senjata, keributan, yang memakan korban. Sebuah tragedi yang disebabkan oleh tentara-tentara yang tidak gondrong.
Kasus tersebut memang tak pernah diusut. Namun sungguh menyulut kemarahan mahasiswa.Selama tiga tahun berikutnya berbagai protes diteriakkan. Polemik berkecamuk. Puncak kemarahan mahasiswa adalah pernyataan Jenderal Soemitro di TVRI pada 1973. Dialog lalu dilakukan oleh Soemitro untuk meredam masalah. Polemik rambut gondrong kemudian memang menyurut. Namun tidak dengan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemerintah. Marzuki Arifin, dalam laporannya,  bahkan percaya bahwa pernyataan Soemitro di TVRI itu adalah salah satu pemicu peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari, 1974), konfrontasi besar pertama antara mahasiswa dengan pemerintah di masa awal Orde Baru.
Namun sampai kini, memang pelajarlah yang paling sial. Rambut gondrong masih dilarang di sekolah. Alasan kerapihan dan segala hal yang tidak masuk akal itu, tampak setali tiga uang dengan masa 1966 – 1973 itu. Sekalipun tetap tidak bisa dibayangkan bagaimana pada sebuah masa, kota-kota besar pernah diserbu oleh aparat bergunting yang merazia pemuda-pemuda gondrong, juga memotong celana-celana berpipa gombrong mereka, sampai bisa berakhir dengan pengeluaran siswa dari sekolah dan kematian mahasiswa.
c.    Dunia pewayangan pada zaman orde baru
Pada zaman orde baru budaya pewayangan / kesenian wayang apresiasinya sangat besar baik dikalangan pemerintahan maupun rakyat jelata Suatu, dalam masyarakat Jawa – yang punya pengaruh yang kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya – adalah masih lestarinya budaya “wayang purwo/kulit” biarpun berbagai unsur budaya telah mempengaruhi bangsa Jawa/Indonesia termasuk unsur-unsur  budaya Islam, dan budaya asing. Bukti yang nyata dari masih besarnya pengaruh budaya “wayang purwo/kulit” ini dengan adanya siaran seminggu sekali di salah satu stasiun TV swasta dan juga tayangan-tayangan nyata maupun di layar pada masa kekuasaan orde baru  (yang mendapat sambutan yang sangat positif dari penggemar budaya “wayang purwo/kulit” pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya).
            Dunia pewayangan tidak akan pernah bisa lepas dengan dunia kekuasaan dan kenegaraan karena pada saat yang paling awal “sang dalang” selalu mulai dengan suatu utopi tentang masyarakat / negara ideal yaitu situasi masyarakat/negara yang “panjang punjung pasir wukir loh jinawi tata tentrem gemah ripah karta raharja “. Panjang berarti termasyhur, punjung – tinggi kewibawaannya, pasir – luas jangkauannnya, wukir-teguh dan kuat,loh-subur, jinawi murah sandang pangan, tata – tertib, tentrem – tenteram, gemah -perdagangan maju, ripah- erba tersedia, karta-aman, raharja – makmur. Yang pada hakekatnya saat ini diterjemahkan sebagai visi bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Dunia pewayangan juga tidak bisa lepas dari dunia kepemimpinan yang ideal, yaitu syarat yang berat untuk seseorang menjadi seorang raja/pemimpin negara karena hanya pemimpin yang ideal bisa mewujudkan masyarakat yang ideal. Salah satu ajaran yang paling umum diceritakan dalam pewayangan syarat pemimipin ideal adalah “hastabrata” atau delapan sikap/laku yang diambilkan dari sifat alam, yaitu pemimpin harus mempunyai sikap :
a. mahambeg mring kismo (sifat bumi): setia memberi kebutuhan hidup kepada siapa saja.
b. mahambeg mring warih (sifat air): selalu turun kebawah rakyat dan memberikan kesejukan atau rasa ketentraman kepada semua rakyat.
c. mahambeg mring samirana (sifat angin): ada dimana saja atau bersikap adil kepada siapa saja.
d. mahambeg mring candra (sifat bulan): memberi penerangan yang sejuk dan indah (kebahagian dan harapan).
e. mahambeg mring surya (sifat matahari):memberi sinar hidup keseluruh jagat raya atau sebagai sumber petunjuk hidup.
f. mahambeg mring samodra (sifat laut / samudra): luas, tempat membuang apa saja atau sifat kasih sayang, pengertian, dan kesabaran.
g. mahambeg mring wukir (sifat gunung): kukuh, teguh, tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun rakyatnya.
h. mahambeg mring dahono (sifat api): mampu membakar semangat dan memberi kehangatan atau mampu memerangi kejahatan dan memberikan ketenteraman / perlindungan buat rakyatnya.
Dunia pewayangan juga tidak lepas dari dunia ksatria utama (ksatria dalam artian yang luas adalah seseorang yang mempunyai kemampuan /kesaktian untuk membela kebenaran – dalam artian yang terbatas saat ini bisa berarti ABRI). Karena epic Ramayana dan Mahabharata adalah cerita tentang kepahlawan, ksatria menjadi focus cerita dan kstaria utama selalu menjadi idola penonton “wayang purwo / kulit” yang tokohnya sangat banyak sekali yang bisa dijadikan contoh sifat-sifatnya (Bima, Arjuna, Gatotkaca, Tripama – Sumantri, Kumbokarno, Karna – dsb.) Salah satu yang cukup banyak dikutip adalah “Ajaran 15″ yaitu ksatria utama bersifat:
a. Wijaya : bijaksana dalam berbakti kepada negara.
b. Mantriwira : dengan senang hati berbakti kepada negara.
c. Wicaksana maya : bijaksana dalam berbicara dan bertindak.
d. Matangwan : dikasihi dan dan dicintai rakyat.
e. Satya bakyi prabu : setia kepada negara dan raja.
f. Wakniwak : tidak berpura-pura, mulut dan hati harus satu.
g. Seharwan pasaman : sabar dan sareh – tidak gugup dalam hati.
h. Dirut saha : Jujur, teliti, sungguh-sungguh dan setia.
i. Tan lelana : baik budi dan mengendalikan pancaindra.
j. Diwiyacita : menghilangkan kepentingan pribadi.
k. Masisi samasta buwana : memperjuangkan kesempurnaan diri dan kesejahteraan dunia.
l. Sih samastha buwana : setia kepada negara agar rakyat tertib dan makmur.
m.Dinrang pratidina : meninggalkan tindak yang jelek dan mengutamakan tindakan yang baik.
n. Sumantri : menghamba seumur hidup.
o. Hanaya ken musuh : mengorbankan jiwa untuk negara berlandaskan kebenaran dan keadilan.
Dunia pewayangan adalah sarat dengan petuah-petuah perbuatan yang utama sebagai pegangan hidup maupun dalam bertindak baik seseorang sebagai raja / pemimpin, ksatria, pendeta, maupun orang biasa yang intinya adalah pelajaran etika agar seseorang selalu berbudi luhur untuk selalu berbuat luhur dan menjauhi perbuatan yang merusak diri maupun lingkungan sekitarnya dan ini sebetulnya juga inti dari pelajaran keagamaan dan kepandaian “sang dalang” yang menjadi faktor utama agama yang mana atau ajaran etika yang mana yang akan ditonjolkan. Dan etika pedalangan bahwa tidak seorang dalangpun yang akan lebih menonjolkan/memenangkan perbuatan tercela dalam penampilan cerita/lakon yang dibawakan
Kembali kepada pokok persoalan antara kekuasaan orde baru dan pewayangan
1. Negara/masyarakat ideal :
Visi dari bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur pada tahun 2020 tidak terlepas dari pengaruh utopi dunia pewayangan. Dalam Mahabharata ada dua negara yang saling berhadapan sebagai pihak yang tercela dan pihak yang patut ditiru yaitu:
Hastinapura – dengan Duryudana sebagai rajanya dan Amartapura-dengan Puntadewa /Judistira sebagai rajanya. Dalam Ramayana negara Alengkadiraja – dengan Rahwana sebagai rajanya dan Ayodya – Ramawijaya sebagai rajanya. Kaitannya dengan negara dalam pewayangan “sang dalang” selalu menceritakan keberadaan negara ideal baik itu di Hastinapura, Amartapura, Alengkadiraja, atau Ayodya. Yang membedakan sifat negara tersebut adalah sifat pemimpin2-nya yang menjadikan ciri negara tersebut bisa dikatakan sebagai negara panutan atau bukan. Adalah tidak bisa memberikan suatu analogi yang tepat dengan mengatakan negara Indonesia menganut utopi Indonesia-Amartapura, Indonesia – Hastinapura, Indonesia Alengkadiraja, atau Indonesia-Ayodya. Karena yang tercela adalah Hastinapura pada saat dipimpin oleh Duryudana (tidak pada waktu dipimpin oleh Panduwinata, ataupun Parikesit)begitu juga Alengkadiraja pada saat dipimpin oleh Rahwana tidak pada saat dipimpin Prabu Somali , ataupun Gunawan Wibisana). Pewayangan telah memberikan simbol yang tepat tentang suatu negara panutan sangat tergantung dari etika dari para pimpinannya, negara adalah negara sekedar suatu wilayah tertentu, kesatuan bangsa tertentu, dan dengan suatu visi utopi tertentu, yang memberikan ciri apakah bisa menjadi negara ideal/panutan adalah pelaku2-nya atau pimpinan2-nya.
Sebagai contoh bahwa “image” Negara tergantung para pemimpinnya seperti Pemerintahan Orde Baru  :
a. Apabila sang pemimpin memberikan kesan-mungkin juga melaksanakan- bahwa menerima komisi berdasarkan jasa-jasa yang diberikan
berhubungan dengan jabatannya itu adalah sah, semua jajaran dalam pemerintah sampai dengan yang paling rendah tanpa rasa bersalah menerima komisi /uang jasa (padahal untuk pekerjaannya itu ia sudah diberi imbalan gaji)
b. Kalau sang pemimpin menghalalkan anak dan cucunya menjadi pengusaha dengan mendompleng fasilitas ayahnya – bahkan termasuk mendapatkan kucuran kredit dengan mudah dari bank pemerintah untuk pembeyaan proyek2-nya – maka ramai-ramai anak Menteri, anak Gubernur, anak Dirjen, anak Bupati, anak Camat, anak Lurah jadi pengusaha muda dadakan dengan segala fasilitas orang tuanya.
c. Kalau sang pemimpin dengan mudahnya meminta sumbangan kepada konglomerat untuk mendirikan Yayasan yang katanya untuk mempercepat kesejahteraan rakyatnya konon khabarnya yang dikucurkan untuk keperluan sumbangan hanya sebahagian dari bunganya), dan ramai2-lah dalam setiap kesempatan dan segala alasan yang dibuat setepat-tepatnya kalangan pejabat pemerintahan meminta sumbangan kepada para pengusaha (dan pengusaha tidak bodoh karena struktur harga produk yang dijual akan disesuaikan dengan segala pengeluaran tak terduga yang akan membebani konsumen yang kebanyakan adalah rakyat kecil, dan logikanya sebetulnya para pemimpin tersebut secara tidak langsung meminta sumbangan kepada rakyat kecil). Dan pembaca bisa menambahkan sendiri kalau mau – barangkali pemimpin2 mengira bahwa rakyat tidak tahu hal2 tersebut diatas – dan bisa menyimpulkan sendiri bagaimana “image” negara kita yang tercinta Indonesia dengan kelakuan para pemimpin2 Orde Baru dibandingkan dengan tujuan visi negara /masyarakat ideal dalam dunia pewayangan.
2. Pimpinan ideal (seberapa jauh pimpinan orde baru merupakan refleksi pimpinan ideal seperti dalam pewayangan): Adalah kajian yang menarik apabila melihat pimpinan Nasional bangsa Indonesia saat ini (istilah pimpinan disini bisa berarti kelompok dalam kaitan yang luas termasuk pimpinan nasional didalamnya). Apakah kekuasan orde baru adalah refleksi dari Amartapura pada masa kepemimpinan Puntadewa/Judistira ataukah refleksi dari Hastinapura pada masa kepemimpinan Duryudana (dengan tidak ada maksud memberikan garis lurus hitam – putih, setidaknya ciri-ciri utama yang nampak dalam opini penulis).
Adalah menjadi ciri-ciri utama dalam ruang tamu pimpinan2 nasional yang Jawa untuk mempunyai hiasan penyekat ruangan dengan dekorasi tokoh “wayang purwo/kulit” dan umumnya tokoh yang digambarkan adalah tokoh PendawaLima dan Kresna. Ini adalah refleksi positif bahwa yang ditokohkan adalah tokoh yang mempunyai sifat2 kepemimpinan yang terpuji :
a. Yudistira : pemimpin yang mempunyai sikap kejujuran dan kesabaran
b. Bima/Werkudoro : Jujur, tegas, disiplin, berani karena benar
c. Arjuna : senang bertapa dan menuntut ilmu oleh karena itu sangat sakti
d. Nakula : ahli dibidang pertanian dan kesejahteran rakyat
e. Sadewa : ahli dibidang peternakan dan industri
f. Sri Kresna : bijaksana, ahli strategi, antisipatif oleh karena itu sering dikatakan bisa mengerti sesuatu kejadian yang belum terjadi
Apakah pimpinan-pimpinan orde baru yang Jawa pada saat ini memang mengidolakan Pendawa Lima dan Sri Kresna dan kemudian mencoba meniru sifat-sifat  yang terpuji dari tokoh-tokoh tersebut secara konsekwen ? Kalau indikasi yang ada jauh dari sifat-sifat yang diidolakan dalam gambar wayang yang dipajang diruang tamu pimpinan-pimpinan Nasional yang Jawa maka keadaan ini justru suatu sikap hipokrit (ke-pura-pura’an) yang sangat nyata. Pada saat perang Baratayuda (perang antara Pendawa Lima dan Kurawa yang sama-sama masih keturunan Barata) Resi Bisma yang sesepuh dari kedua belah pihak mengingatkan pihak Kurawa tidak akan mungkin menang melawan Pandawa karena di pihak Pandawa ada Yudistira, Sri Kresna, dan Semar. Dan sifat-sifatnyata dari ketiganya yang merupakan kekuatan suatu negara :
a. Yudistira sebagai raja yang sangat jujur dengan sifat yang “ambeg paramarta berbudi bawalaksana” – ambeg para marta berati murah hati / suka memberi, berbudi – mempunyai budi pekerti yang luhur, bawalaksana – satunya kata dengan perbuatan. Refleksi ini seharusnya yang dipunyai oleh pimpinan yang berada dibidang eksekutif negara kita.
b. Sri Kresna yang sangat adil dan bijaksana sebagai penasehat Pendawa – refleksi dari fungsi lembaga strategis, dewan pertimbangan agung, dan lembaga peradilan yang netral / judikatif.
c. Semar sebagai simbol rakyat yang bisa memberikan suara hati nurani rakyatnya, yang juga sangat menentukan dan didengar oleh rajanya – refleksi dari lembaga perwakilan rakyat /legislatif.
Dari interpretasi simbolik dari dunia pewayangan tidak benar adanya bahwa kita tidak mengenal suatu konsep yang mirip dengan konsep “trias politika”, tidak benar juga kalau kita tidak mengenal oposisi, dalam cerita pewayangan banyak cerita yang Semar dan panakawan sebagai simbol dari rakyat tidak sependapat dengan para Ksatria dan raja yang menyimpang dari budi pekerti luhur yang akhirnya bisa diingatkan kembali (cerita/lakon seperti Jamus Kalimosodo, Petruk Jadi Raja, Semar Barang Jantur, dll.). Dan dalam pewayangan biarpun namanya Dewa, Raja, dan Ksatria mempunyai kelemahan-kelemahan yang juga pada saat tertentu mempunyai perilaku yang tercela yang perlu diperbaiki. Justru pewayangan memberikan tempat paling terhormat kepada Semar (rakyat) yang selalu mengingatkan Raja dan Ksatria untuk tetap berjalan pada garis yang lurus dan berbudi luhur. Jelas faktor utama kepemimpinan dalam pewayangan yang dinilai adalah faktor etika yaitu seberapa pemimpin menunjukan keluhuran budi dan bisa membedakan antara baik dan buruk, karena pemimpin yang berkelakuan buruk tentu akan menghasilkan masyarakat yang buruk pula.
Kembali kepada refleksi kepemimpinan Nasional Orde Baru saat ini:
1. Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini refleksi dari Amartapura dibawah kepemimpinan bijaksana dari Judistira, Sri Kresna, dan Semar? Dan ini secara nyata yang di-idealkan oleh masyarakat Jawa dalam dunia “wayang purwo/ kulit” (dan ini pasti dicita-cita kan oleh pemimpin-pemimpin Nasional yang Jawa sebagai pegangan ideal – lepas secara nyata bisa dilaksanakan atau tidak). Dari indikator pengamatan penulis kelihatannya sifat2 kepemimpinan Orde Baru saat ini tidak ada miripnya dengan kepemimpinan ideal Judistira, Sri Kresna, dan Semar.
2. Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini refleksi dari Hastinapura dibawah pimpinan Duryudana dengan penasehat Patih Sengkuni, Pendita Durna yang banyak tipu muslihat dan mengagungkan angkaramurka? Kalau ini disamakan sifat kepemimpinan Nasional Orde Baru saat ini seperti sifat Duryudana, pasti akan banyak yang marah besar (apalagi kalau dikatakan seperti Rahwana / Dasamuka yang bermuka sepuluh dari Alengkadiraja). Kalau pemimpin-pemimpin Orde Baru berani melakukan intropeksi barangkali indikasi ini memang benar adanya mengingat dengan sistim kolusi dan korupsi yang merajalela, yang ukuran materi menjadi lebih utama dari budi yang luhur, yang kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok melebihi kepentingan rakyat banyak.
3. Ksatria ideal dan dwifungsi ABRI: Sangat menarik untuk dikaji bahwa peranan Ksatria Utama – dalam arti yang terbatas pada saat ini bisa berarti kalangan ABRI – dalam “wayang purwo / kulit” meniru model Ksatria Pandawa Lima terutama yang menjadi tulang punggung dalampeperangan adalah Bima/Werkudoro dan Arjuna. Disamping sebagai panglima perang Bima / Werkudoro juga diberikan teritori yang namanya Jodipati dan Arjuna diberi teritori yang namanya Madukara (Kemungkinan besar pemberian teritori ini pengaruh pada masa Mataram mengingat model Panglima  yang merangkap Bupati yang mengelola pemerintahan daerah adalah terjadi pada masa kekuasaan Mataram – dalam cerita asli Mahabharata tidak pernah diceritakan tentang kekuasan teritori dari Bima ataupun Arjuna). Makanya sangat tidak mengherankan kalau pelaksanaan dwifungsi ABRI, banyak kalangan Ksatria / ABRI mendapat jabatan Gubernur, Bupati, Camat dan lain-lainnya. Dan kalau interpretasi tentang fungsi rangkap di pewayangan tidak diluruskan kembali, dwifungsi ABRI akan tetap ada selama pengaruh “wayangpurwo/kulit” dalam masyrakat masih ada – dan tetap dianggap suatu kewajaran meniru idola Bima dan Arjuna sebagai Ksatria Utama terpanggil untuk ikutjuga mengelola pemerintahan (walaupun belum tentu punya penguasaan yang cukup dibidang ini – dan mempersempit ruang gerak orang sipil untuk menduduki fungsi penting dalam pemerintahan). Model ini sebetulnya tidak lebih model negara kerajaan bukan model peranan tentara dinegara demokrasi.
Barangkali interpretasi simbolik dari dunia “wayang purwo/kulit” berkaitan dengan fungsi rangkap dari Ksatria Utama bisa kita koreksi dan luruskan :
a. Meskipun Bima dan Arjuna adalah panglima perang andalan Pandawa, yang menjadi raja di Amartapura adalah Puntodewa/Judistira dibantu penasehat Sri Kresna dan Semar.
b. Bima dan Arjuna selalu akan tunduk pada perintah sang kakak/sang raja Puntadewa/Judistira. Tidak akan maju perang atas maunya sendiri.
c. Bima dan terutama Arjuna selalu mendapat nasehat dari Sri Kresna dan bimbingan dari Semar maupun punokawan yang lainnya.
Secara simbolik bisa diartikan :
a. Ksatria Utama dalam hal ini Bima dan Arjuna sebagai refleksi dari ABRI tidak pernah mempunyai kekuasaan yang mutlak. Dia akan selalu tunduk pada kepemimpinan eksekutif sang kakak yang memerintah dengan asas etika yang luhur.
b. Tidak ada sedikitpun ambisi dari Bima dan Arjuna untuk menggantikan sang kakak menjadi raja. Menyadari bahwa peran utamanya adalah sebagai Ksatria Utama.
c. Bima dan terutama Arjuna sangat dekat dengan Semar sebagai lambang rakyat sehingga tidak mungkin menganiaya rakyat atau memusuhi rakyat (kalau ini terjadi, dalam pewayangan Semar tetap akan menang)
d. Bima dan Arjuna selalu tunduk dan meminta nasehat Sri Kresna dan tidak mungkin untuk menggantikan peranan Sri Kresna dengan dirinya sendiri. Bagi Ksatria Utama – Indonesia yang Jawa yang kebetulan membaca tulisan ini, mohon direnungkan apakah peranan dwifungsi ABRI yang sedang dilaksanakan saat ini memang sudah sesuai dengan prinsip Ksatria Utama seperti yang pernah diajarkan nenek moyang kita dalam dunia pewayangan atau memerlukan koreksi sehingga jangan sampai membawa “karma” yang negatif terutama dalam bersikap menghayati nurani rakyat – dan kenyataannya ABRI juga berasal dari rakyat. Jangan sampai interpretasi secara dangkal peranan ganda Bima dan Arjuna didalam pewayangan hanya diterjemahkan satu sisi yang menguntungkan saja karena mendapatkan kekuasaan tambahan dan rejeki tambahan tanpa melihat sisi lain dari hubungannya dengan Yudistira, Sri Kresna, dan Semar maupun sifat2 utama yang harus dikembangkan dan dipegang teguh berkaitan dengan etika sebagai Ksatria Utama.
 “Wayang purwo / kulit” adalah sumber yang tidak pernah kering untuk sarana refleksi bagi seseorang sebagai individu, sebagai pemimpin, sebagai ksatria atau apapun peran sosial dari seseorang di masyarakat yang dalam cerita/lakon yang diceritakan maupun tokoh-tokohnya mengajarkan pada kita :
1. Pada akhirnya peran seseorang harus diuji terhadap nilai etika antara perbuatan yang baik dan yang buruk.
2. Apapun perbuatannya baik atau buruk seseorang akan menanggung “karma” nya sendiri-sendiri.
3. Nilai2 yang ideal agar kita berusaha secara optimal untuk mencapainya.
4. Nilai religius yang terdalam bahwa apapun yang terjadi hanya akan terjadi atas kehendakNya.
porsi pendidikan etika maupun perbuatan etika yang luhur tidak pernah mendapat porsi utama dalam pembangunan bangsa yang secara simbolik didalam pewayangan justru menjadi faktor yang utama sehingga menunjang terjadinya unsur “panjang-punjung” – panjang berarti termasyur dan punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tingi – didalam negara / masyarakat ideal yang akan menjadi contoh untuk negara lain betapa tingginya etika yang dijunjung oleh bangsa Indonesia, dan tidak perlu dengan susah payah selalu membantah bahwa “tidak pernah ada korupsi dan kolusi di Indonesia”, “pelaksanaan hak-hak asazi manusia di Indonesia sudah sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri” dan banyak faktor etika yang lainnya yang selalu membuat malu bangsa Indonesia dan sorotan negatif didalam pergaulan international yang se-mata-mata bukan Indonesia sebagai bangsa dan negara tetapi lebih disebabkan oleh tingkah-laku dari pimpinan-pemimpin Nasional Orde Baru pada tingkat yang mayoritas.




6.1 pengaruh dalam bidang industrialisasi dan lingkungan
            Dalam masa pemerintahan orde baru terdapat upaya REVOLUSI HIJAU dan INDUSTRIALISASI  yang menimbulkan perubahan teknologi dan lingkungan di berbagai daerah :
1. Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau merupakan revolusi biji-bijian dari hasil penemuan ilmiah berupa benih unggul dari berbagai varietas gandum, padi, dan jagung yang membuat hasil panen komoditas tersebut meningkat di begara-negara berkembang. Revolusi hijau lahir karena masalah pertambahan penduduk yang pesat. Pertambahan penduduk harus diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian.
Upaya peningkatan produksi pertanian digalakkan melalui :
a. Pembukaan lahan pertanian baru
b. Mekanisasi pertanian
c. Penggunaan pupuk baru
d. Mencari metode yang tepat untuk pemberantasan hama
setelah berkembang Masyarakat Indonesia yang agraris menjadikan pertanian sebagai sektor penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini didasari oleh :
a. Kebutuhan masyarakat yang meningkat dengan pesat
b. Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
c. Produksi pertanian belum mampu memenuhiseluruh kebutuhan masyarakat.
Untuk meningkatkan produksi pertanian pemerintah mengupayakan :
a. Intensifikasi
b. Ekstensifikasi
c. Diversifikasi
d. Rehabilitasi
2. industrialisasi
            Dalam kekuasaan pemerintahan orde baru program industrialisasi mulai berkembang diantara indusrialisasi yang dilakukan adalah : 
a. Industri Pertanian
- Industri pengolahan hasil tanaman pangan termasuk hortikultura
- Industri pengolahan hasil perkebunan
- Industri pengolahan hasil perikanan
- Industri pengolahan hasil hutan
- Industri pupuk
- Industri Pestisida
- Industri Mesin dan peralatan pertanian
b. Industri Non Pertanian
- Industri Semen
- Industri Besi baja
- Industri Perakitan kendaraan bermotor
- Industri elektronik
- Industri kapal laut
- Industri Kapal terbang

2.   Kelebihan dan kekurangan pemerintahan orde baru
Kelebihan :
-       Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
-       Suksesnya program transmigrasi
-       Suksesnya program keluarga berencana
-       Sukses program pemberantasan buta huruf
-       Suksesnya swasembada pangan
-       Pengangguran minimum
-       Suksesnya REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
-       Sukses Gerakan Wajib Belajar
-       Suksesnya Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
-       Suksesnya keamanan dalam negeri
-       Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
-       Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan :
-       Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
-       Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
-       Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
-       Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
-       Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
-       Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
-       Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
-       Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
-       Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
-       Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
-       Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
-       Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
-       Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta

3.   Runtuhnya kekuasaan orde baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter ( krisis financial asia )   tahun 1997.
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi
4.   Pasca orde baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman
            Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran
   









.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.    Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara  masa kepemimpinan Soekarno (Orde Lama) dengan masa kepemimpinan Soeharto.
2.    Orde baru dilatar belakangi adanya G 30 S PKI yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan presiden soekarno ( orde lama )
3.    Pengaruh kekuasaan pemerintahan  orde baru terhadap politik diantaranya :
a.    Adanya penataan politik dalam negri
b.    Adanya politik luar negri yang bebas aktif 
4.    Pengaruh kekuasaan pemerintahan orde baru terhadap bidang ekonomi dan pembangunan antara lain :
a.    Adanya stabilitas dan rehabilitas ekonomi Negara
b.    Terjalinya kerja sama dengan luar negri
c.    Adanya pembangunan nasional, diantaranya pembangunan lima tahun          ( pelita ) yang dinilai cukup berhasil
5.    Pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru terhadap bidang sosial antara lain :
a.    Mementingakan persatuan nasional
b.    Pertumbuhan dan mobilitas penduduk teratur
6.    Pengaruh kekuasaan pemerintah orde baru  terhadap masyarakatan dan kebudayaan  antara lain :
a.    Kebijakan terhadap bahasa,sastra,agama,etnis,pendidikan dan kesenian
b.    Lestarinya kesenian wayang yang kuat
7.    Faktor utama yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan pemerintah orde baru adalah adanya krisis vinancial asia



DAFTAR PUSTAKA

Alfandi, widajo.2002.orde baru dan reformasi Indonesia.yogyakarta : university press
Djoened,marwati,dkk.1993. sejarah nasional jilid 6. Jakarta : pustaka
Ecip,s.sinansari.1998.kronologi penggulingan soeharto. Bandung : mizan
Gaffar, fan.2004.politik Indonesia. Yogyakarta : pustaka pelajar
Foushan, geof. 2002.indonesia pasca soeharto. Yogyakarta : tojidu press
Norma,ahmad.1998.zaman edan. Yogyakarta : bentang
Hasbuan,arbet. 1996. Titik pandang orde baru. Jakarta : pustaka


.

.