BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
fiksi merupkan salah satu bentuk karya yang kreatif, maka bagaimana
pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas
dari kebebasan kretifitasnya. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan
seperti yang disikapi dan dialami oleh tokoh-tokoh cerita sesuai dengan
pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya pengarang
sengaja menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk
menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya,
apapun status sosialnya bagaimana pun perwatakanya, dan permasalahan apapun
yang dihadapinya, singkatnya pengarang berhak menampilkan tokoh, siapapun dia
orangnya walau hal itu berbeda dengan dunianya sendiri di dunia nyata
tokoh cerita mempunyai tempat strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral ataupun sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca. Keadaan ini juga sering berakibat kurang menguntungkan para
tokoh cerita itu sendiri dilihat dari
segi kewajaranya dalam segi bersikap dan bertindak. Tidak jarang tokoh-tokoh
cerita dipaksa dan diperalat sesbagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh
cerita dan sebagai pribada kurang berkembang. Secara ekstern boleh dikatakan,
mereka hanya sebagai robot yang selalu tunduk kepada kemauan pengarang
dan kepribadianya sendiri.
Relitas kehidupan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam
kaitanya dengan kehidupan tokoh cerita. Namun haruslah disadari bahwa hubungan
itu tidaklah bersifat sederhana, melainkan bersifat komlpleks, sekompleks
berbagai macam kehidupan itu sendiri.
b.
Tujuan
penulisan
1.
Memaparkan
pengertian tentang tokoh dan penokohan dalam kajian fiksi
2.
Memberikan
gambaran tentang unsur-unsur penokohan dalam fiksi
3.
Memberikan
pemahaman tentang pembedaan penokohan dan teknik-teknik yang ada dalam
melukiskan penokohan
BAB II
PEMBAHASAN
PENOKOHAN
1.
UNSUR PENOKOHAN
DALAM FIKSI
Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokkoh dan penokhan
merupakan unsur yang penting dalam karya naratif, plot boleh saja dipandang
sebagai tulang punggung cerita namun kita pun dapat mempersoalkan siapa yang
diceritakan itu ? siapa yang melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu ? yang dalam
plot disebut sebagai peristiwa, siapa pembuat konflik dan lain-lain, tidak lain
semua itu adalah urusan tokoh dan penokohan, berbicara mengenai tokoh dengan
segala perwatakan dengan berbagai citra jati dirinya, dalam banyak hal lebih
menarik perhatian orang daripada berurusan dengan pemplotanya. Namun hal itu
tidak berarti unsur plot dapat diabaikan begitu saja karena kejelasan mengenai
tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotanya
a.
Pengertian dan
hakikat penokohan
Dalam pembicaraan suatu fiksi sering digunakan istilah seperti
tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakterisasi,
serta bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama istilah tersebut
sebenarnya tidak menyarankan pada istilah yang persis sama akan tetapi ada
perbedaan makna dari masing-masing istilah tersebut
Istilah tokoh menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita misalnya
sebagai jawaban dari pertanyaan yang ada “ siapa tokoh utama novel itu ? “ “
atau siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu “ tentu semua itu
dikaji dalam pembahasan tokoh dan penokohan pada teori fiksi watak, perwatakan
dan karakter menunjukkan pada sifat para tokoh seperti yang telah ditafsirkan
oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi sering juga diartikan sebagai karakter dan perwatakan mennjuk
pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita atau seperti yang telah dikatakan oleh ( jones, 1968 : 33 ) penokohan adalah sesuatu gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
-
Pengertian
tokoh
Menurut Aminudin (2002: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu
cerita. Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995:
165). Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita
rekaan.
Menurut Sudjiman (1988: 16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami
peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada umumnya
berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang
diinsankan.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995:165) tokoh cerita merupakan
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca
kualitas moral dan kecenderungan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan
perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.
-
Pengertian penokohan
Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita,
baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya.
Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995:165) penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Menurut Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa
tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain.
Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut
penokohan. Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan
berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta
memberi nama tokoh tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana
watak tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat
dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh
cerita baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang.
b.
Penokohan dan
unsur cerita yang lain
Fiksi merupakan sebuah keseluruhan yang utuh mempunyai ciri
artistik keutuhan dan keartistikan fiksi justru terletak pada keterjalinanya
yang erat pada berbagai unsur pembangunanya, penokohan sendiri merupakan unsur
yang bersama dengan unsur-unsur yang lain yang kemudian membentuk suatu
totalitas namun perlu dicatat penokohan merupakan unsur yang penting dalam
fiksi ia merupakan salah satu fakta cerita disamping kedua fakta cerita yang
lain dengan demikian penokohan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan
keutuhan dan keartistikan sebuah fiksi.
Penokohan sebagai salah satu unsur pembangunan fiksi dapat dikaji
dan dianalisis keterjalinanya dengan unsur-unsur pembangun lainya, jika fiksi
yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pasti
terjalin secara harmonis dan saling melengkapi satu sama lain.
c.
Relevansi tokoh
Ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering
membrikan reaksi emotif tertentu, seperti rasa akrap, simpati, empati, benci
ataupun rekasi-reaksi yang lainya pembaca tak jarang mengidentifikasikan
dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpati dan empati. Segala sesuatu
yang dirasakan dan dialami oleh tokoh, yang menyenangkan atau menyedihkan
seolah-olah ikut dirasakan dan dialami oleh pembaca bahkan banyak tokoh cerita
yang menjadi idaman pembaca sehingga kehadiran tokoh di dalam cerita
seolah-olah hadir dalam dunia nyata. Seolah pembaca telah merasa akrap betul
dengan tokoh itu, ataubahkan telah menjadi bagian hidupnya walau secara fisik
tidak akan pernah dapat menginderanya tokoh cerita yang diperlakukan denikian
oleh pembaca apakah berarti ia relevan ?
Ada beberapa bentuk relevansi seorang tokoh cerita seorang tokoh
cerita yang merupakan ciptaan pengarang itu jika disukai banyak orang dalam
kehidupan nyata, apalagi jika sampai dipuja dan dikagumi berarti merupakan
tokoh yang relevansi ( Kenny 1966 : 27 ) salah satu bentuk relevansi tokoh
seiring dihubungkan dengan kesepertihidupan,
lifelikennes seorang tokoh cerita dianggap relevan bagi para
pembaca ataupun relevan dengan pengalaman hidup kita, jika ia seperti kita atau
orang lain yang kita ketahui, kita sering mengharapkan tokoh yang denikian.
Namun sebenarnya hal itu tidak saja membatasi kreatifitas imajinasi pengarang
juga melupakan fungsi tokoh sebagai salah satu elemen fiksi. Pengarang
mempunyai kebebasan menciptakan tokoh yang bagaimana pun dengan hanya merasa
terikat bahwa tokohnya relevan dengan pengalaman kehidupanya sendiri dan mungkin pembaca.oleh karena itu,
dalam kaitanya dengan relevansi ini pertanyaan yang diajukan tidak berbunyi “
apakah tokoh cerita itu seperti kita ? “ melainkan apakah relevansi tokoh itu
bagi kita
Jika dengan kriteria kesehidupan pengalaman tokoh cerita dengan pengalaman
kehidupan kita dianggap sebagai bentuk relevansi, bagaimanakah halnya dengan
tokoh-tokoh yang aneh yang lain daripada yang lain ? misalnya tokoh orang tua
dalam stasiun. Atau tokoh aku dalam telegram apakah mereka
dianggap tidak relevan ?
Didunia ini memang tidak banyak atau bahkan sedikit kemungkinanya
ada orang yang seperti mereka. Namun hal yang sedikit itu bukan berarti tidak
ada, walau hanya kecil kemungkinanya bahkan sebenarnya mungkin ada sisi-sisi
tertentu dari kehidupan tokoh-tokoh aneh tersebut yang juga terdapat pada diri
kita walaupun kita sendiri juga tidak menyadari jika kita merasakan keadan itu
dalam pengalaman diri kita hal itu berarti ada relevansi pada tokoh tersebut
hal inilah yang merupakan bentuk relevansi yang kedua ( Kenny, 1966 : 27 )
Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitanya dengan
berbagai unsur yang lain dan perananya dalam cerita keseluruhan. Tokoh memang
unsur yang terpenting dalam karya fiksi, namun bagaimanapun ia masih terikat
oleh unsur-unsur yang lain, bagaimana jalinanya dan bentuk keterikatan unsur
tokoh dengan unsur yang lain dalam sebuah fiksi perlu ditinjau satu persatu,
jika tokoh memang berjalan erat dan saling melengkapi dan menentukan dengan
unsur-unsur lain dalam membentuk keutuhan yang artistik, tokoh mempunyai bentuk
relevansi dengan cerita secara keseluruhan
2.
PEMBEDAAN TOKOH
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan,
berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja
dikategorikan kedalam beberapa jenis penamaan sekaligus, diantaranya
a.
Tokoh utama dan
tokoh tambahan
Ketika membaca sebuah novel biasanya kita akan dihadapkan pada
sejumlah toko yang dihadirkan di dalamnya, namun dalam kaitanya dalam
keseluruhan cerita peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama dilihat dari
segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang
tergolong penting dan ditampilkan secara terus menerus sehingga terasa
mendominasi sebagian besar cerita dan juga sebaliknya ada juga tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun dalam porsi
penceritaan yang relative pendek. tokoh yan disebut pertama adalah tokoh utama cerita
( central character, main character )
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam sebuah
cerita yang bersangkutan, ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan
baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Menurut Sudjiman (1988:17-18) berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita
dapat dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peran
pemimpin disebut tokoh utama atau protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh
yang sentral dalam cerita, ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan.
Menurut Nurgiyantoro (1995:176) berdasarkan peranan dan tingkat
pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalan novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit
dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh
utama secara langsung.
Tokoh utama dapat saja hadir dalam setiap kejadian dan dapat
ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, tetapi tokoh utama
juga bisa tidak muncul dalam setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam
setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat
kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama. Tokoh utama dalam sebuah
novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tidak selalu
sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan
pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
Penentuan tokoh utama dalam sebuah cerita dapat dilakukan dengan
cara yaitu tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, tokoh itu
yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, tokoh itu yang paling banyak
memerlukan waktu penceritaan.
Pembaca dapat menentukan tokoh utama dengan jalan melihat
keseringan pemunculannya dalam suatu cerita. Selain lewat memahami peranan dan
keseringan pemunculannya, dalam menentukan tokoh utama dapat juga melalui petunjuk
yang diberikan oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang
sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya. Selain itu lewat
judul cerita juga dapat diketahui tokoh utamanya (Aminudin, 2002:80).
Diantara salah satu Cara menentukan yang mana tokoh utama dan yang
mana tokoh penunjang adalah dengan membandingkan setiap tokoh di dalam cerita.
Adapun kriteria tokoh utama adalah: bertindak sebagai pusat pembicaraan dan
sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema
cerita, dan lebih sering melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita
(Sayuti, 2009:6.6).
Contoh Seperti pada kutipan di awah ini :
Tiba-tiba tampak olehnya pisau belati di sisi Mansur. Darahnya
berdebar-debar dan gusarnyapun timbul kembali. Tak percaya ia akan janji
saudaranya tadi. Sebab itulah berkata ia: “Kakak, pisau itu baiklah Minah
sembunyikan. Minah sebenarnya belum begitu percaya. Hendaklah kita awas sebelum
terjadi!”
Mansur tak mengeluarkan kata sepatah juapun.
Laminah mengambil pisau belati itu dari pinggang saudaranya dan
diletakannya di bawah bantal.
Tokeh pada ketika itu sedang makan. Mansur dan Laminah menunggu
dimuka pintu dapur.
(STA. Tak Putus Dirundung Malang. Hlm. 128)
Dari kutipan di atas kita bisa menilai bahwa tokoh utamanya adalah
Mansur. Kenapa? Karena Mansur merupakan inti pembicaraan di atas. Potongan
cerita tersebut ada setelah terjadi perselisihan antara Mansur dengan salah
satu pegawai di tempat ia bekerja. Mansur hendak memberi pelajaran kepada orang
tersebut, karena ia telah berbuat macam-macam terhadap adiknya. Jadi, sangat
jelas inti permasalahnnya ada pada Mansur sendiri. Ia menjadi pusat pembicaraan
pada potongan cerita tersebut dan umumnya pada novel tersebut.
Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan
secara eksak pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh
itu bertingkat : tokoh utama ( yang
utama ), utama tambahan, tambahan yang memang tambahan hal inilah yang antara
lain mengakibatkan orang bisa berbeda pendapat dalam menentukan tokoh-tokoh
utama sebuah cerita fiksi.
b.
Tokoh
protagonis dan tokoh antagonis
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat
dibedakan dengan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan namun dilihat dari
fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan kedalam tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering kali mengidentifikasi diri
dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri
secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disampaikan oleh pembaca
demikian disebut sebagai tokoh protagonis ( altenbernd & lewis 1996 : 59 )
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu
jenisnya secara popular disebut hero –tokoh merupakan pengejawatan norma-norma,
nilai-nilai yang ideal bagi kita
( altenberd & lewis, 1966 : 59 )
tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita,
harapan-harapan kita sebagi pembaca. Maka, kita sering mengenalinya sebagai
memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapi seolah-olah juga
sebagai permasalahan kita, demikian pula halnya dalam menyikapinya
Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya
konflik dan ketegangan yang dialami oleh toko protagonis yang mana tokoh
pemyebab terjadinya konflik adalah toko antagonis. Tokoh antagonis dapat
disebut beroposisi dengan tokoh protagonis scara langsung maupun tidak
langsung, secara fisik maupun bathin
Konflik yang dialami olah tokoh protagonist tidak harus disebabkan
oleh tokoh antagonis seorang individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Ia
dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang diluar individualitas seseorang,
misalnya bencana alam kecelakaan, aturan sosial, nilai moral dan sebagainya
penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai
kekuatan antagonistis ( altenbernd & lewis, 1996 : 59 )
Menentukan tokoh-tokoh cerita kedalam protagonis dan antagonis
kadang-kadang juga tidak mudah, atau paling tidak orang juga dapat berbeda
pendapat tokoh yang mencerminkan harapan atau norma ideal kita memang dapat
dianggap sebagai tokoh protagonis namun tidak jarang ada tokoh-tokoh yang tidak
membawakan nilai-nilai moral kita atau yang berdiri dipihak sana justru yang
diberi simpati dan empati oleh pembaca. Jika terdapat tokoh yang berlawanan,
tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah
yang kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati dari pembaca ( lexemburg
dkk, 1992 : 145 )
Pembedaan antara tokoh utama dan tokohg tambahan dengan tokoh protagonis
dan tokoh antagonis saling digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama
protagonis, tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis dan tokoh tambahan
antagonis. Pembedaan secara pasti antara toko utama protagonis dan toko utama
antagonis juga sering tidak mudah dilakukan, pembedaan itu sebenarnya lebih
bersifat penggradasian
c.
Tokoh sederhana
dan tokoh bulat
Berdasarkan perwatakanya tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh
sederhana ( flat character ) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat ( round
character ) perbedaan tersebut berasal dari forster dalam bukunya aspect of the
novel yang terbit pertama kali 1927 pembedaan tokoh kedalam sederhana dan
kompleks ( forster, 1970 : 75 ) tersebut kemudian menjadi sangat terkenal
hampir semua buku sastra yang membicarakan tentang penokohan, tidak pernah lupa
menyebut pembeda itu, baik secara langsung menyebut nama forster maupun tidak.
Pengkategorian seorang tokoh kedalam
sederhana atau bulat haruslah di dahului dengan analisis perwatakan.
Tokoh sederhana. tokoh sederhana dalam bentuk yang asli adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu ( mempunyai satu sifat
watak yang tertentu saja ) sebagai tokoh seorang manusia, ia tidak diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupanya. Ia tak memiliki tingkah laku yang dapat
memberikan sifat dan efek kejutan bagi pembaca sifat dan tingkah laku seorang
tokoh yang sederhan bersifat datar, monoton karna hanya mencerminkan satu watak
tertentu saja. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus
menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan perwatakan tokoh yang sederhana
dan benar-benar sederhana dapat dirumuskan hanya dalam sebuah kalimat atau
bahkan sebuah frase saja misalnya “ ia seorang yang miskin tetapi jujur “ atau
ia seorang yang kaya tetapi kikir “
Tokoh sederhana dapat juga melakukan berbagai tindakan namun semua
tindakanya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang
telah diformulakan itu. Dengan demikian pembaca akan dengan mudah memahami
watak dan tingkah laku tokoh sederhana. ia mudah dikenal dan dipahami, lebih
familiar dan cenderung streotip. Tokoh sebuah fiksi yang bersifat familiar,
sudah biasa atau yang stereotip memang dapat digolongkan sebagai tokoh-tokoh
yang sederhana ( Kenny : 1966 : 28 ) berhadapan dengan tokoh-tokoh sebuah karya
fiksi, mungkin sekali kita merasa seolah-olah telah mengenal, telah akrab atau
telah biasa denganya padahal sebenarnya yang telah kita kenal adalah
perwatakan, tingkah laku, tindakan atau pribadinya yang memiliki kesamaan pola
dengan watak dan tingkah laku tokoh
cerita novel yang telah kit abaca sebelumnya tokoh cerita yang demikian adalh
tokoh cerita yang bersifat stereotip, klise.
Tokoh-tokoh cerita pada novel-novel Indonesia dalam awal
perkembanganya pada umumnya berupa tokoh sederhana, tampak hanya mencerminkan
pola atak tertentu saja misalnya tokoh siti nurbaya, samsul bahri dan datuk
maringgi dalam siti nurbaya , hanafi corri dan rafiah dalam salah asuhan dan
lain-lain itu boleh dikatakan bahwa tokoh-tokoh tambahan dalam sebuah fiksi,
rata-rata merupakan tokoh sederhana. hal itu mudah dimengerti sebab mereka tak
banyak diceritakan sehingga tidak memiliki banyak kesempatan untuk diungkapkan
dalam berbagai sisi kehidupan
Tokoh bulat. Tokoh bulat, kompleks berbeda halnya dengan tokoh
sederhana. tokoh bulat ini merupakan tokoh yang diungkapkan oleh pengarang dari
berbagai sisi kehidupanya, sisi kepribadian dan jati dirinya ia dapat saja
memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia juga dapat
menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam bahkan seperti
bertentangan dan sulit di duga. Oleh karna itu perwatakanya pun sulit untuk
dideskripsikan ssecara tepat dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat
lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki
berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan ( abrams,
1981 : 20-1 )
Tokoh kompleks, dengan demikian sulit dipahami terasa kurang
familiar karna yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh yang kurang akrab dan kurang
dikenal sebelumnya. Tingkah lakunya sering tidak terduga dan sering memberikan
efek kejutan kepada pembaca namun berbeda halnya dengan relitas kehidupan
manusia yang tidak konsisten dan tak berplot unsur-unsur kejutan yang
ditampilkan oleh tokoh cerita haruslah dapat dipertanggung jawabkan dari segi
plausibilitas cerita, sebab cerita fiksi memang mengandung plot ia harus logis
sesuia dengan tuntunan koherensi cerita yang mengaharuskan adanya pertautan
logika sebab akibat jadi misalnya : guru isa yang sebelumnya diceritakan
sebagai manusia yang penakut, kemudian berubah menjadi tidak penakut lagi. Perubahan
itu harusnya tidak terjadi begitu saja, melainkan harus ada sebab-sebab khusus
yang harus dipertanggung jawabkan dari segi plot. Berhubung permasalahan atau
konfliks guru isa lebih merupakan permasalahan kejiwaan “ pertanggung jawaban “
itupun yang menyangkut permasalahan kejiwaan pula. Demikian halnya dengan
perubahan-perubahan sikap dan tindakan teto dalam burung-burung manyar, dari
sikap cinta terhadap orang Indonesia, berubah menjadi sikap dan perbuatan
memusuhi dan berubah lagi menjadi mencintai dan bahkan mau membela
kepentinganya dengan penuh tanggung jawab.
d.
Tokoh statis
dan tokoh berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan
tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis, tidak berkembang ( static
character ) dan tokoh berkembang (
developing character )
tokoh statis adalah tokoh
yang secara esensial tidak menagalami perubahan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi ( altenbernd &
lewis, 1966 : 58 ) tokoh jenis ini Nampak seperti kurang terlibat dan tak
terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena
adanya hubungan antar manusia jika diibaratkan tokoh statis bagaikan batu
karang yang tidak tegoyahkan walau setiap hari dihantam dan disayang ombak.
Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relative tetap tidak berkembang
sejak awal hingga akhir cerita
tokoh berkembang, dipihak lain adalh tokoh cerita yang mengalami
perkembangan dan perubahan perwatakan, sejalan dengan perkembangan peristiwa
dan plot yang dikisahkan, ia secara aktif berinteraksi dengan lingkunganya,
baik lingkungan sosial, alam maupun yang lainya yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya perubahan-perubahan yang
terjadi diluar dirinya, dan adanya hubungan antar manusia yang memang bersifat
saling mempengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaanya dan dapat menyebabkan
terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya. Sikap dan watak tokoh
berkembang, dengan demikian akan mengalami perkembangan dan perubahan dari
awal, tengah dan ahir cerita sesuai dengan tuntunan koherensi cerita secara
keseluruhan
dalam penokohan yang bersifat statsi dikenal dengan adanya tokoh
hitam ( dikontasikan sebagai tokoh jahat ) dan putih ( dikontasikan sebagai
tokoh baik ). Tokoh yang statis hitam atau statis putih artinya tokoh-tokoh tersebut sejak awal
kemunculanya hingga akhir cerita terus menerus bersifat hitam atau putih, yang
hitam tak pernah berunsur putih dan yang putih pun tak pernah diungkapkan unsur
kehitamanya. Tokoh hitam adalah tokoh yang benar-benar hitam yang seolah-olah
telah tercetak secara demikian dan yang tampak hanyalah sikap dan tingkah laku
jahatnya tidak pernah diungkapkan unsur-unsur kebaikan dalam dirinya walau
sebenarnya pasti ada sebaliknya tokoh putih juga seolah-olah telah tercetak
selalu saja baik dan tak pernah berbuat sesuatu yang tergolong tidak baik
walau pernah sekali atau dua kali berbuat
tidak baik
tokoh hitam putih biasanya akan cepat menjadi streotip karna
sebenarnya mereka merupakan pengejawatan ajaran moral kita yang bersifat
baik-buruk dan streotip juga mudah dikenal sebagai tokoh atau symbol tertentu
misalnya tokoh samsul bahri dan datuk maringgih masing-masing adalah symbol
dari tokoh putih yang berwatak baik dan tokoh hitam yang berwatak jahat samsul
adalah tokoh yang benar dan semua tingkah lakunya pun dianggap benar, sedangkan
datuk maringgih adalah tokoh jahat, pembuat dan pelaku berbagi tindak kejahatan
dan semua perbuatanya pun dianggap sebagai sesuatu yang selalu jahat
perbedaan antara tokoh statis dan tokoh berkembang kiranya dapat
dihubungkan dengan pembedaan tokoh sederhana dan kompleks. Tokoh statis, entah
hitam entah putih, adalah tokoh yang sderhana, datar karna ia tidak diungkap
dari berbagai sisi kehidupanya. Ia hanya memiliki satu kemungkinan watak saja
dari awal hingga akhir cerita. namun Tokoh berkembang sebaliknya akan cenderung
menjadi tokoh yang kompleks, hal itu disebabkan karena adanya perkembangan dan
perubahan sikap watak dan tingkah
lakunya itu dimungkinkan sekali dapat terungkapkanya berbagai sisi kejiwaanya
sebagaimana halnya dengan tokoh datar, tokoh statis pun kurang mencerminkan
kehidupan manusia, namun juga sebagaimana halnya pembedaan antara tokoh
sederhana dengan tokoh kompleks yang lebih bersifat penggradasian pembedaan
antara tokoh statis dan berkembang inipun kurang lebih sama lebih bersifat
penggradasian artinya diantara dua titik pengontrasan itu ada tokoh yang
memiliki kecenderungan kesalah satu kutub, tergantung tingkat intensitas
perkembangan sikap, watak dan tingkah laku.
e.
Tokoh tipikal
dan tokoh netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (
sekelompok ) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam
tokoh tipikal ( typical character ) dan tokoh netral ( neutral character )
tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaanya atau
kebangsaanya ( altenbernd & lewis, 1996 : 60 ), atau sesuatu yang lain yang
lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan,
atau penunjukan terhadap orang atau
sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu
sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata. Penggambaran itu
tentu saja brsifat tidak langsung dan
tidak menyeluruh justru pihak pembacalah yang menafsirkanya secara demikian
berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan persepsinya terhadap tokoh di dunia
nyata dan pemahamanya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi
Tokoh netral, dipihak lain adalah tokoh cerita yang berinteraksi
demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya
hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi ia hadir ( dihadirkan ) semata-mata
demi cerita atau bahkan ialah pelaku cerita yang diceritakan kehadiranya tidak
berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang diluar dirinya,
seseorang yang bersal dari dunia nyata atau paling tidak pembaca mengalami
kesulitan untuk menafsirkanya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada
unsur bukti pencerminan dari kenyataan di dunia nyata
Penokohan cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang
sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia
di dunia nyata tanggapan itu mungkin bersifat negative seperti seperti terlihat
dalam karya yang bersifat menyindir, kritikual namun juga sebaliknya ia juga
bersifat positif seperti yang terasa dalam nada yang memuji-muji, tanggapan
juga dapat bersifat netral artinya pengarang melukiskan sepoerti apa adanya
tanpa disertai sikap subjektivitasnya sendiri yang cenderung memihak
Penokohan yang tipikal
ataupun bukan berkaitan erat dengan makna intentional meaning maka intensional makna yang tersirat yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui tokoh tipikal itu pengarang
tidak sekedar memberikan reaksi atau tanggapan melainkan memperlihatkan
sikapnya terhadap tokoh, permasalahan tokoh, atau sikap dan tindakan tokohnya
itu sendiri
Penyebutan “ guru “ dalam
nama guru isa pada jalan tak ada ujung, dapat ditafsirkan bahwa itu adalah took
tipikal, tipikal bagi para guru atau paling tidak oleh pengarang dimaksudkan
demikian sesuai dengan persepsinya terhadap seorang guru yang berhati lembut,
cinta damai, tidak suka kekerasan, bertanggung jawab jika berhadapan dengan
sesuatu yang tidak sesuia dengan kata
hatinya mudah terguncang, mislanyamenjadi penakut dan hal itu kemudian
menyebabkan impotensi pada dirinya, namun apakah selemah itukah orang yang
berstatus sebagai guru itu ? peristiwa guru isa mencuri buku dikantor untuk
dijual karena desakan ekonominya itu barang kali juga merupakan suatu kejadian
yang has ( tipikal ) yang mungkin sekali dapat dialami orang di dunia nyata.
Tokoh tipikal dalam sebuah novel mungkin hanya seorang atau
beberapa orang saja misalnya tokoh utama ataupun tokoh tambahan. Ketipikalan
seorang tokoh tidak harus meliputi seluruh kedirianya, bahkan yang demikian
justru mustahil, mungkin hanya beberapa aspek yang menyangkut kedirianya
misalnya reaksi dan sikapnya terhadap suatu masalah atau konflik yang dihadapi
tokoh itu sendiri, tutur kata dan tindakan kejadian tertentu dan sebagainya.
Dipihak lain, juga terlihat bahwa unsur ketipikalan dalam novel
tidak hanya menyangkut masalah penokohan saja, melainkan juga dapat melibatkan
unsur-unsur cerita yang lain misalnya yang menyangkut pokok permasalahan cerita
yaitu tema, plot dan berbagai aspek peralatan.
Namun mengingat bahwa fiksi adalah karangan imajiner yang bertujuan
artistic, pengangkatan hal-hal tertentu yang secara jelas bersifat tipikal,
justru mengurang kadar kelitereran karya yang bersangkutan barang kali sastra
populerlah yang lebih menunjukkan adanya unsur ketipikalan itu berhubung karya
jenis itu lebih bersifat memotret emosi-emosi secara sesaat apa adanya, untuk
itu kiranya perlu dipahami antara kesepertihidupan dengan ketipikalan.
Kesepertihidupan sekedar menyaran bahwa tokoh cerita itu memiliki ciri
kehidupan insani yang dapat berlaku dan terjadi di dunia nyata, walau sendiri
tidak pernah ada dan terjadi. Ketipikalan, dipihak lain tidak sekedar
menunjukkan bahwa ia memiliki sifat kehidupan, melainkan memang terdapat tokoh
yang bersikap, bersifat, bertindak, masalah kejadian dan lain-lain yang
diceritakan dalam novel itu yang mempunyai ciri-ciri persamaan dengan yang ada
di dunia nyata. Dengan demikian tokoh tipikal pasti mempunyai sifat keseperti
hidupan sedangkan tokoh yang lifelike belum tentu merupakan tokoh yang
tipikal
3.
TEKNIK
PELUKISAN TOKOH
Tokoh-tokoh cerita seperti yang telah di kemukakan di atas, tidak
akan begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca, mereka memerlukan
sarana yang memungkinkan kehadiranya sebagai bagian dari karya fiksi yang
bersifat menyeluruh dan padu sserta mempunyai tujuan artistic, kehadiran dan
pengahadiran tokoh-tokoh itu haruslah dipertimbangkan dan tidak lepas dari
tujuan tersebut maslah penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata
berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan pada tokoh cerita
saja, melainkan juga bagai mana cara melukiskan kehadiran dan penghadiranya
secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya
yang bersangkutan. Kedua hal tersebut sebagaimana kaitanya antara berbagai
elemen fiksi, saling mendukung dan saling melengkapi
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau
lengkapnya : pelukisan sikap, watak, sifat, tingkah laku dan berbagai hal lain
yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau
teknik yaitu teknik uraian ( telling ) dan teknik ragaan ( showing ) ( abrams, 1981 : 21 ) atau
teknik penjelasan, ekspositori ( expository ) dan teknik dramatik ( dramatic )
( altenbernd & lewis 1966 : 56 ) atau teknik diskursif ( discursive ), dramatic dan konstektual
( Kenny, 1966 : 34-6 ) teknik yang pertama juga pada yang ke
dua, walaupun terdapat perbedaan istilah, namun secara esensial tidak berbeda
menyarankan pada pelukisan secaralangsung sedangkan pada pelukisan kedua scara
tidak langsung.
Berikut penjelasan kedua teknik tersebut secara rinci
a.
Teknik
ekspositori
Teknik eksplositori sering juga disebut sebagai teknik analitis,
yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan diskripsi, uraian,
atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh
pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja
dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat
watak, tingkah laku atau bahkan ciri fisiknya
Contoh dalam kutipan novel “ sekali peristiwa di banten selatan “
Dua
orang pemikul singkong, yang hendak menuju ke tempak truk-truk dari kota
memunggah singkong, muncul dari tikungan jalan. Bawaannya begitu beratnya
sehingga pikulan mereka Nampak melengkung. Kedua-duanya bercelana hitam sedikit
di bawah lutut. Mengikatkan sarung pada pinggang masing-masing dan bertopi
capio, sedang pada pinggang mereka tersandang kasang dari bambu anyaman.
(hlm.
12)
b.
Teknik dramatis
Penampilan tokoh cerita dalan teknik dramatik dilakukan secara
tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat
dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita
untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang
dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau
tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi
Contoh :
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang
sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah
oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh
kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. Ia lebih menyedihkan
dari si invalid itu. Dalam situasi apapun, Arai selalu menyedihkan.
(Andrea
Hirata. Sang Pemimpi. Hlm. 2)
Pengarang berusaha menggambarkan tokoh lain dalam cerita melalui
tokoh “Aku”. Sangat jelas disebutkan bahwa keadaan fisik salah satu
temannya—Jimbrong—tidak sepertihalnya orang normal. Salah satu kakinya melebihi
panjang kakinya yang lain. Selain itu, ia juga menjelaskan watak tokoh
lainnya—Arai. Ia bisa menyimpulkan bahwa temannya yang ini selalu terlihat
selalu tegang dan ketakutan ketika dalam keadaan tersudutkan. Dibuktikan
melelui tindakannya yang muntah ketika dalam keadaan tersudutkan.
Wujud penggambaran teknik dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah
teknik, di antaranya adalah :
1.
Teknik cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk
percakapan dalam sebuah karya fiksi khususnya novel umumnya cukup banayak, baik
percakapan yang pendek maupun percakapan yang agak panjang.
Contoh :
“ tetap mayor ……. Perkenankanlah aku menguraikan duduk perkaranya “
“ saya tidak tertarik dengan segala uraian mu anak muda yang jalas
ini : nona …( ia melihat lagi kedalam map tadi ) larasati adalah salah seorang
anggota secretariat itu si perdana mentri amatir sutan syahrir. Dan rumahnya di
kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi, jadi … jadi apa
kelinci kecil ? jadi setiap orang yang normal dalm situasi perang pasti akan
menaruh syak kepada siapapun yang tanpa mendapat perintah keluyuran sendirian
ke satu alamat yang ia rahasiakan "
“ tetapi aku bukan orang republik. Soal ku dengan gadis itu
hanyalah pribadi saja keluarga merekalah yang menolong kami dalam penduduk
jepang “ ( mayoor verbruggen tertawa keras dan ironis )
“ ha ha ha …… ini dia hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang
punya susu-susu montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti gadis mu apalagi
anunya …… lalu “
“ diam ! potong ku “ kamu
disini sebagai komandan militer, bukan komandan urusan pribadi “
“ hei hei hei….. tenang-tenang “ ( tetapi aku terlanjur naik pitam
)
“ kau boleh menembak aku sebagai mata-mata tetapi memperolokkan
gadis yang satu ini ku larang. Ku larang “
“ tenang tenang……… sudah ……”
“ aku tidak rela kalau….. ( tetapi vebrugen berganti berteriak dan
gelas-gelas jatuh pada pukulan kepalanya pada meja )
“ diam ! berdiri tegak kaukelinci dimuka komandan di medan perang “
( burung-burung manyar, 1981 : 70-1 )
Sepotong kutipan dialog kiranya sudah dapat menggambarkan sifat
kedirian tokoh pelakunya kepada pembaca. Kita dapat menafsirkan bahwa teto /
leo mempunyai sifat pemberani dan juga keras kepala untuk mempertahankan
dirinya sekalipun ia berhadapan dengan komandan militernya dan ia juga bersifat
setia kepada orang lain, mau mebela nama baik orang lain.
2.
Teknik tingkah
laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal,
fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat
dipandang sebagai menunjukkan reaksi tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
Contoh :
Sudah lima kali ini aku ke keramat, dan masuk menyelinap melalui
pintu dapur. Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur terkunci cemat,
tetapi surat atik belum ku jawab. Aku takut kunci masih terletak di dalam
lubang dinding sepertia ada dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu
istirahat bebas dinas untuk ketiga kalinya hanya untuk duduk-duduk saja di
serambi belakang. Dan melamun sebab sesudah segala peristiwa yang menimpa
diriku, aku semakin benci bertemu orang. Hanya dengan mayor vebruggen aku masih
dapat berdialog sebab bagaimanapun dengan mayor petualang itu aku masih
mempunyai ikatan intim dengan masa lampau ku
Bangkai-bangkai
burung kesayangan atik teal ku ambil, ku kubur dengan segala dedikasi.
Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa sayang si
atik kepada burung-burungnya
( burung-burung manyar, 1981 : 75 )
3.
Teknik pikiran
dan perasaan
Pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh
tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. Bahkan
pada hakikatnya, pikiran dan perasaannyalah yang kemudian diejawantahkan
menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal.
Contoh :
“ bu, tun bukan
perawan lagi “
Sri diam menatap
anaknya, aneh sekali pada perasaanya sri mulutnya ada mengatakan “ gusti nyuwun ngapuro “ tetapi kenapa tidak terdengar, pikir sri.
Tau-tau ia hanya mengelus kepala anaknya. Sri ingat peringatan orang tua-tua
jawa yang sering mengatkan bahwa dalam suatu tempat pengeraman itu hanya ada
satu atau dua telur yang rusak. Tetapi bila
dalam tempat pengeraman itu hanya terdapat satu telur dan rusak juga bagaimana
? di dalam hati ia menggelengkan kepala. Tanganya terus mengelus anaknya,
sedang hatinya masih terus mencoba menghayati kejadian itu.
( sri sumarah dan bawuk, 1975 : 26-7 )
4.
Teknik arus
kesadaran
Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha
menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, dimana tanggapan indera
bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan,
harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:206).
Contoh :
Kelak aku baru tahu bahwa, memiliki saat itu hanya berarti ingin
memperkosa atik agar dimasuki oleh dunia ku, oleh gambaran hidup ku tanpa
bertanya ia mampu atau tidak. Dan sesudah sadar bahwa itu tidak mungkin
kudobraki dunia ku dan aku hanya bisa menangis, memang aku masih terlalu muda,
terlalu kurang mengenali dunia sekeliling ku atik jelas bukan adik ia praktis
pengganti mami ku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang merasa
malu sebab sikap lelaki begitu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat ku
kerjakan ? ! biar kepada siapapun aku boleh malu tetapi kepada atik aku sanggup
telanjang dan di telanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada suatu
orang saja secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan.
Terhadap atik aku ikhlas malu dan dipermalukan.
( burung-burung manyar, 1981 : 79 )
5.
Teknik reaksi
tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan
sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh yang bersangkutan.
Contoh :
Tiba-tiba anak muda itu mengerang dan untuk kedua kalinya, sri
tidak sanggup mencegah dekapan dan rangkulanya. Tanganya yang kuat-kuat itu
begitu saja sudah merebahkanya keatas dadahnya dan seperti kemarinya tangan itu
mulai mengelus-elus rambut, sanggul dan punggung sri, serta bibirnya mulai
mengoles-oles dahi, pelipis serta telinga sri dan seperti kemarin juga sri membiarkanya
begitu
( sri sumarah dan bawuk, 1975 : 77 )
6.
Teknik reaksi
tokoh lain
Contoh :
Tetapi atik sadar tidak segampang itu perkaranya. Kesalahan teto
hanyalah mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan langsung di bawah sepatu
lars politik dan militer, kesalahan teto hanyalah ia lupa bahwa yang disebut dengan penguasa jepang atau pihak
belanda atau bangsa Indonesia dan sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi
yang masih membutuhkan kongkretisasi darah dan daging, siapa bangsa jepang ?
Yang menodai bu
kapten bukan banggsa jepang, tetapi ono atau harshima dank arena kelaliman ono
atau harasima lah seluruh bangsa jepang dan kaum republic yang dulu memuja-muja
jepang di kejar-kejar. Pak lurah dan mbok sawitri yang mengepalai dapur umum di
desa, serta pak trunya yang dulu menolong pak antana tidak ikut-ikutan dengan
kekejian ono tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi larasati. Teto
tetap teto dan bukan oihak KNILL
( burung-burung manyar 1981 : 144 )
7.
Teknik
pelukisan latar
Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan
kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian
tokoh.
8.
Teknik
pelukisan fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan
kejiwaannya, atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan
adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan
bawel.
Disamping kedua teknik pelukisan tokoh tersebut, yang telah
dijelaskan di atas para ahli juga ada yang menambahkan teknik campuran sebagai
salah satu teknik pelukisan tokoh Artinya penggambaran tokoh menggunakan dua
cara sekaligus, secara langsung dari pengarang itu sendiri ataupun melalui
tokoh lain. Hal tersebut bisa dicermati pada kutipan di bawah ini :
… Mbok Ralem keluar sambil membopong anaknya yang pucat dan batuk.
Perempuan itu terkejut melihat siapa yang datang. Darah lenyap dari wajahnya,
bibirnya bergetar. Pambudi duduk di balai-balai bambu.
“Mob Ralem, kau tak perlu takut seperti itu.”
“Anu, anu… anu, Nak.”
“Anu apa, Mbok?”
“Aku takut kau membawa perintah dari Lurah untuk menghukumku.
Kemarin dulu sebelum aku meninggalkan Balai Desa kudengar Pak Lurah
marah-marah. Pastilah gara-gara aku, bukan?”
(Ahmad Tohari. Di Bawa Kaki Bukit Cibalak. Hlm. 29)
Dari kutipan di atas kita bisa melihat bagaimana pengarang
menggunakan kedua metode dalam menggambarkan tokohnya. Metode yang pertama
yaitu, Metode Diskursif. Hal tersebut dapat diketahui melalui potongan cerita
langsung dari pengarang, “Perempuan itu terkejut melihat siapa yang datang.
Darah lenyap dari wajahnya, bibirnya bergetar”, yang menunjukan keadaan Mbok
Ralem yang takut akan kedatangan Pambudi. Keadaan tersebut diperkuat dengan
dialog yang terjadi antara Pambudi dan Mbok Ralem sendiri yang menyatakan kalau
Mbok Ralem sedang ketakutan. Artinya, pengarang merasa kurang puas ketika hanya
menggambarkan kondisi tokoh di dalam ceritanya melalui tuturannya secara
langsung. Pengarang mencoba menyakinkan bagaimana keadaan tokoh dalam ceritanya
dengan menggunakan pandangan atau pemikiran tokoh lain dalam cerita tersebut.
Catatan
Perwatakan tokoh biasanya terikat pada tema dan setting cerita
dalam sebuah karya fiksi. Jika ceritanya bertemakan perjuangan zaman
penjajahan, otomatis tokoh protagonisnya juga akan berwatak seorang pejuang
yang penuh semangat, pembarani, memiliki pemikiran matang dan progresif.
Begitupun sebaliknya, tokoh antagonisnya pun tentu bersifat lebih berani dan
lebih kejam dari pada cerita-cerita fiksi yang bertemakan romantisme. Jika tema
dan settingnya tentang kehidupan sehari-hari yang lebih cenderung
menitikberatkan pada segi romantisme, tokoh pada karya fiksinya juga
berwatakkan sepertihalnya orang-orang baik pada umumnya (stereotip), ramah
tamah, suka menolong. Dan sebaliknya pula, tokoh antagonisnya akan lebih lemah
kadar keantagonisannya jika dibandingkan dengan tokoh antagonis pada karya
fiksi yang bertemakan perjuangan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan novel
berikut ini:
“Ya. Tetapi kita mesti menang.”
“Belanda berkata begitu pula. Tidak bisakah didapat penyelesaian
yang lain? Di mana kita dan Belanda sama-sama menang?”
“Maksudmu?”
“Penyelesaian kalah dan menang untuk sesuatu pihak bukan
penyelesaian yang sebenarnya. Itu hanya penyelesaian sementara. Sementara yang
kalah tetap lemah dari yang menang. Tetapi jika yang kalah telah merasa kuat
lagi untuk melawan, pasti dia akan bangun dan tegak dan melawan kembali. Dan
semua akan berulang kembali, hingga ada pula yang menang dan yang kalah. Tidak
bisakah didapat penyelesaian di mana kedua belah pihak menang? Maksudku
kemenangan nilai-nilai manusia. Kemenangan pikiran dan perasaan manusia.
Kemenangan manusia melawan nafsu kasar dirinya sendiri. Kemenangan kebaikan
melawan kejahatan.”
(Mochtar Lubis. Tidak Ada Esok. Hlm. 180-181)
Pernyataan mengenai keterikatan tokoh dengan tema juga dapat
dilihat pada Novel Laskar Pelangi. Suasana yang ada pada novel tersebut adalah
suasana perjuangan dalam hal pendidikan. Itu dibuktikan dengan pernyataan tokoh
utama “Aku” yang menggambarkan rasa semangat teman-temannya dalam hal
pendidikan, seperti pada kutipan di bawah ini:
Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan
arus listrik dengan menggerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan
prinsip-prinsip kerja dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa
kartun dan cara menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi
geometri dan aerodinamika dalam mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah
yang memuakau tentang bangsa-bangsa yang punah. Pernah juga Lintang menyusun
potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan
menghadapkannya ke arah matahari agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi,
rancangan energi matahari katanya.
Sebaliknya Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan
mendemonstrasikan seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis
gerabah itu dan mewarnainya. Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan
beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi
yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan dibawakan secara memukau dengan
gaya tilawatil Qur’an, belum pernah aku melihat orang membaca puisi seperti
itu.
(Hlm. 141-142)
Aktifitas yang dilakukan teman-teman Ikal menunjukan bahwa mereka
sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Keadaan ekonomi dan sebagainya tidak
mempengaruhi keseriusan mereka. Bahkan, mereka bisa membuktikan kalau mereka
juga bisa seperti anak-anak lain yang lebih beruntung dalam hal menuntut ilmu.
Lintang dengan kemampuan dalam bidang eksaknya, Mahar dalam bidang seni dan
sastranya mampu membuka mata pembaca bahwasannya keadaan ekonomi tidak
mempengaruhi semangat belajar mereka.
Kutipan kedua novel di atas menjelaskan bahwa tokoh protagonis
adalah tokoh yang tidak mengenal sifat-sifat yang dimiliki tokoh antagonis.
Tokoh-tokoh protagonisnya bersifat sepertihalnya pahlawan menurut konteks
temanya masing-masing, tokoh utamanya pada khususnya. Memang terlihat wajar
ketika berbicara tentang karya fiksi. Akan tetapi, hal tersebut berkesan
berlebihan jika melihat realita yang ada.
Lain halnya dengan kedua novel di atas, Novel Kubah karya Ahmad
Tohari justru memberi kesan lain terhadap tokoh utamanya. Karman—tokoh utama
dalam Novel Kubah—memang memiliki sifat yang baik. Akan tetapi, pada bagian
tertentu ia berubah seolah-olah menjadi tokoh antagonis. Sifatnya mudah
terpengaruh, emosional, dan pendendam. Hal tersebut dibuktikan dengan potongan
cerita di bawah ini:
“Paman, aku tak mungkin berbaik kembali dengan Haji Bakir, bukan
karena hanya soal Rifah. Masih banyak alas an lagi bagiku untuk bersikap
seperti itu.”
“Lho… Kenapa?”
“Karena bersikap baik terhadap haji itu sudah tak perlu lagi. Kalau
Haji Bakir merasa telah berbuat kebajikan padaku, ia telah memperoleh kembali
imbalan yang lebih.”
(Hlm. 96)
Dialog tersebut terjadi antara Karman dan Hasyim, pamannya. Ketika
itu Karman merasa telah dibodohi oleh Haji Bakir. Ia merasa diperalat olehnya.
Selain itu, ia juga harus menerima kenyataan bahwa Rifah (anak Haji
Bakir)—perempuan yang ia cintai—dijodohkan dengan pria lain. Pada saat itu ia
juga sedang dihasut oleh pemikiran-pemikiran PKI supaya tidak mempercayai
orang-orang seperti Haji Bakir, yang pada dasarnya merekalah yang menghasut
Karman. Sehingga Karman akhirnya memutuskan untuk membenci Haji Bakir dan
keluarganya. Pembaca seolah-olah bertanya-tanya, “Masa tokoh utama ikut
bergabung dan mengembangkan faham PKI yang ditentang bangsa kita? Masa tokoh
utama pendendam, dan sebagainya?”
Sebenarnya, pada saat itulah pengarang menggunakan sisi
kewajarannya dalam memberi perwatakan terhadap tokoh utama pada novel yang
dimaksud. Ia seperti berpesan kepada pembaca bahwa manusia juga memiliki
kekhilafan, tidak melulu benar. Artinya, sifat antagonis sementara tokoh
utamanya terjadi karena ia memiliki sifat mudah dipengaruhi. Atau mungkin bisa
saja pengarang sengaja menjadikan tokoh utama berkesan seperti tokoh antagonis
untuk menjadikan konflik yang ada menjadi lebih menarik dan tidak bisa ditebak
oleh pembaca. Sehingga memancing emosi pembaca untuk mengetahui lanjutan
ceritanya.
Hal yang sama juga digunakan oleh STA dalam karya fiksinya yang
berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Pada beberapa bagian ceritanya, ia memberi
kesan lain terhadap Mansur, tokoh utama dalam karya fiksi tersebut. Seperti
pada potongan cerita berikut ini:
Seketika diam ia. Terasa olehnya, bahwa perkataannya itu tak keluar
dari sanubarinya. Sebab itulah ia berkata pula: “Tetapi sebaik-baiknya orang yang
seruapa itu diajar benar-benar sampai ia jera untuk seumur hidupnya. Jangan ia
menyangka, bahwa di dunia ini semuanya dapat dikerjakannya sekehendak hatinya.
Cobalah lihat! Kalau didiam-diamkan, sedikit hari lagi semuanya itu diulangnya
pula, tak pada kita, pada orang lain.”
(Hlm. 126-127)
Keadaan tersebut terjadi ketika Laminah (adik Mansur) diperlakukan
tidak wajar oleh Sarmin, salah seorang pekerja di tempat ia bekerja. Mendengar
adiknya diperlakukan demikian, Mansur hendak memberi pelajaran terhadap Sarmin.
Padahal adiknya melarangnya untuk melupakan hal tersebut. Kondisi tersebut
tentu mejadikan pembaca memberi apresiasi negatif terhadap Mansur, meskipun ia
bertindak sebagai tokoh utama. Mansur seolah-olah berubah menjadi seorang yang
pendendam dan hendak memutuskan suatu perkara tanpa memperhitungkannya terlebih
dahulu. Tentunya sifat demikian sangat kontras dengan sifat seorang tokoh
protagonis. Akan tetapi, pengarang mampu menjadikan pertentangan sifat tokoh
protagonis tersebut menjadi gambaran mengenai konflik batin yang dialami tokoh
utamanya
BAB III
KESIMPULAN
Dari berbagai penjelesan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut antara lain
1.
Penokohan
merupakan salah satu unsur instrinsik dalam sebuah karya fiksi yang mutlak ada
keberadaanya dalam sebuah cerita
2.
Istilah tokoh
dan penokohan menunjuk pada pengertian yang berbeda. Istilah tokoh menunjuk
pada orangnya, pelaku cerita. sedangkan Penokohan dan karakteristik menunjuk
pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita.
3.
Penokohan harus
terjalin erat dengan berbagai unsur pengembangan dalam sebuah cerita
4.
Tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan
dari sudut mana penamaan itu dilakukan dan juga berdasarkan perbedaan sudut
pandang dan tinjauan
5.
Secara garis
besar perbedaan tokoh dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara lain : tokoh
utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonist dan tokoh antagonis, tokoh
sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, tokoh tipikal dan
tokoh netral
6.
Teknik
pelukisan tokoh secara garis besar dapat
dibagi menjadi teknik ekspositori dan
teknik dramatik
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana,
Sutan Takdir. 2008. Tak Putus Dirundung Malang. Jakarta: Dian Rakyat.
Hirata,
Andrea. 2008. Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang.
Sayuti,
Suminto A. 2009. Cerita Rekaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Toer,
Pramoedya Ananta. 2009. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara
____________________
2009. Sekali Peristiwa Di Banten Selatan. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tohari,
Ahmad. 2005. Kubah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
____________
2005. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiyatmi.
2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Nurgiantoro,
burhan.2002.teori pengkajian fiksi. Yogyakarta : gadjah mada university
press
No comments:
Post a Comment