BAB
I
PENDAHULUAN
a.
Latar
belakang
Dalam
studi sosiolinguistik telah seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan
sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis,
maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang
sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja:
fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga merupakan
alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir
ini, diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi,
tetapi tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara
alat-alat komunikasi lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi
yang digunakan makhluk sosial lain, yakni hewan. Dalam setiap komunikasi
manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan,
maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses
komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur”
dalam satu “situasi tutur”.
Menurut
Muhammad Rohmadi, ( 2004 ) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan
oleh Austin ( 1956 ), seorang guru besar
di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan
oleh J.O.Urmson ( 1965 ) dengan judul
How to do Things with words?. Akan
tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969)
menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of
language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak
tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari
lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (fire
performance of speech acts).
Teori
tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut
dikembangkan kembali oleh Searle pada tahun 1969. Menurut Searle, dalam semua
komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi
bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih merupakan hasil
dari perilaku tindak tutur ( Searle
1969 dalam Suwito 1983:33 ). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur
merupakan inti dari komunikasi. Tindak tutur merupajkan suatu analisis yang
bersifat pokok dalam kajian pragmatik ( Levinson dalam Suyono 1990:5 ).
Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar
berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik objek
yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam
peristiwa komunikasi, yaitu berupa ujaran atau tuturan yang yang
diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik. Sementara itu
Austin (dalam Ibrahim 1992:106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur
mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu,
tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan
bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal
tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud
tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang
lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa
tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Sejalan
dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa
aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan
tindak tutur atau tindak ujar. Rumusan tersebut merupakan simpulan dari dua
pendapat, yaitu pendapat Austin (1962) dan Gunarwan (1994:43) yang menyatakan
bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan.
Karena disamping melakukan ujaran, ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap
orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah
peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki
maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur.
Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983)
berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakup :
a. penutur dan mitra tutur,
b. konteks tuturan,
c. tujuan tuturan
d. tindak tutur sebagai tindakan atau
aktivitas
e. tuturan sebagai hasil tindakan
bertutur.
Konsep
tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang
menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur. Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur
yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun
implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat
dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian
tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk
tindak tutur.
Sedangkan
hal-hal yang dapat ditindakkan di dalam berbicara ( tuturan ) ialah sebagai
berikut :
a. Permintaan ( request )
b. Pemberian izin ( permissions )
c. Tawaran ( offers )
d. Ajakan ( invitation )
e. Penerimaan akan tawaran (
acceptation of offers )
b. Rumusan
masalah
1. Apa pengertian dari tindak tutur ?
2. Apa saja teori-teori yang ada dalam
pembahasan tindak tutur ?
3. Bagaimana pengklasifikasian tindak
tutur menurut para ahli lingustik ?
c. Tujuan
1. Memahami pengertian dari tindak
tutur
2. Mengetahui teori-teori yang ada dalam
pembahasan tindak tutur
3. Mengenali pengklasifikasian tindak
tutur menurut para ahli linguistik
BAB
II
PEMBAHASAN
TINDAK
TUTUR ( SPEECH ACT )
1. Pengertian tindak tutur
Tindak tutur (speech act) merupakan unsur pragmatik
yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis, pembaca serta yang
dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh beberapa disiplin
ilmu. Seorang kritikus sastra mempertimbangkan teori tindak tutur untuk
menjelaskan teks yang halus (sulit) atau untuk memahami alam gnre (jenis)
sastra, para antropolog akan berkepentingan dengan teori tindak tutur ini dapat
mempertimbangkan mantra magis dan ritual, para filosof melihat juga adanya
aplikasi potensial diantara berbagai hal, status pernyataan etis, sedangkan linguis
(ahli bahasa) melihat gagasan teori tindak tutur sebagai teori yang dapat
diterapkan pada berbagai masalah di dalam kalimat (sintaksis), semantic,
pemelajar bahasa kedua, dan yang lainnya. Di dalam linguistic pragmatic tindak
tutur tetap merupakan praduga dengan implikatur khusus. ( Setiawan, 2005 : 16 )
Tindak
tutur atau “ pertuturan “ / “ speech act , speech event “ ( istilah krida
laksana ) adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari
pembicara dapat diketahui oleh pendengar ( Kridalaksana, 1984: 154 )
Speech act
: an utterance as a functional unit in communication (
Richards et al, 1989: 265). Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak
semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu.
tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat
psikologis dan keberlangsugannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur
dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna
atau arti tindakan dalam tuturannya. ( abdul chaer 2004
: 16)
Tindak tutur
adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena
sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk mampu
melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition)
maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara
nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal ( Subyakto, 1992:88).
Kegiatan
pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka
cara tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung
bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi
memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik.
Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa,
sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur
dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering
dihadapi oleh pembelajar bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih
sering menjadi kendala bagi pembelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal
ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang
kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar Bahasa Indonesia untuk
Penutur Asing ( BIPA ).
Tindak
tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji
bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa
pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan);
menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan
mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana,
bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam
pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini
seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan
prinsip kesantunan.
Secara
fungsi, banyak ahli membagi bahasa ke dalam bermacam klasifikasi, misalnya,
Halliday mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental,
regulatory, representational interactional, personal, heuristic, dan
imaginative ( dalam Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat
fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis ( Rusyana, 1984:141-142 ),
dan yang lebih rinci disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi
bahasa, melainkan dalam tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak
komunikasi, yaitu greeting,
complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining,
accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning,
sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk
dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
2. Teori
tindak tutur
Pemakaian
bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas
jumlahnya, karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan
gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Meskipun demikian para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur tersebut
dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis
tuturannya, kategori, modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya. Beberapa ahli
yang mengklasifikasikan tindak tutur antara lain Austin (1962), Searle (1969),
Fraser (1974) dan Wijana (1996). Teori-teori yang telah dikembangkan oleh para
ahli tersebut akan dijelaskan berikut ini :
2.1 Teori
tindak tutur austin ( 1962 ). “ konstantif dan performatif “
Austin
(1962) mengklasifikasikan tindak tutur yang bermodus deklaratif menjadi dua,
yaitu tindak tutur konstantif dan performatif. Tindak tutur konstantif
adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan
pengetahuan tentang dunia.
Contoh : “
soeharto adalah presiden kedua republik Indonesia “
Tuturan
tersebut merupakan tuturan konstantif karena kebenaran tuturan tersebut dapat diterima berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki oleh mitra tutur yang mendengarkannya, yaitu bahwa soeharto adalah
presiden kedua republic Indonesia.
Sedangkan
tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang pengutaraannya
digunakan untuk melakukan sesuatu.
Contoh : “
mohon maaf atas segala kekurangan saya “
Tuturan
tersebut merupakan tuturan performatif, karena tuturan tersebut selain sebagai
tindak bertutur namun juga memiliki kegunaan untuk memohon maaf kepada mitra
tutur. Dalam tuturan performatif penutur tidak dapat menyatakan bahwa tuturan
itu benar atau salah, tetapi sahih atau tidak sahih.
Austin
(1962:26-36 dalam Rustono 1999:35) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan,
yaitu
a.
harus
ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu
harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada
peristiwa tertentu
b.
orang-orang
dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang
patut melaksanakan prosedur itu
c.
prosedur
itu harus dilaksanakan oleh peserta secara benar, dan
d.
prosedur
itu harus dilaksanakan oleh peserta secara lengkap
2.2 Teori
Austin ( 1962 ) dan Searle ( 1969 ) “ lokusi, ilokusi dan perlokusi “
Austin
(1962) dalam “ How to do Things with Words “ mengemukakan
bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan
(act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan
tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan
perlokusi.
Searle di
dalam bukunya speech acts : an essay in
the philosophy of language ( 1962 ) mengemukakan bahwa secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni tindak lokusi ( locutionary
act ), tindak ilokusi ( illocutionary
act ) dan tindak perlokusi (
perlocutionary act ).
Dengan
demikian dapat dikatakan Austin (1962) dalam “ how to do things with words “ dan Searle (1969) “speech acts : an essay in the philosophy of language ”
menyempurnakan teori mengenai tindak tutur yang terdahulu dan
mengklasifikasikan tuturan-tuturan yang ada, maka Austin dan Searle membagi
tuturan menjadi tiga jenis antara lain :
2.2.1
tindak tutur lokusi
tindak
tutur lokusi adalah tindak tutur yang semata-mata tindak berbicara, yaitu
tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu
(di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya.
Wijana
( Dalam Setiawan, 2005 : 18-19 ) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak
tutur untuk meyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut The Act of Saying Something. Konsep lokusi adalah konsep yang
berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini
dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek atau
topik dan predikat atau comment yang relative paling mudah untuk
diidentfikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa
menyertakan konteks tertuturnya tercakup dalam situasi tutur.
Contoh :
(1) “ Saya sedang makan”
(2) “ ibu ke pasar “
(3) “ tas itu bagus “
Dari
beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa : tuturan (1) mengacu pada
makna bahwa penutur hanya memberitahukanbahwa dirinya sedang makan tanpa
dimaksudkan meminta perhatian. Sama halnya dengan tuturan (2) dan (3),
masing-masing hanya memberitahukan bahwa ibunya pergi ke pasar dan bahwa tas
yang dilihat oleh penutur itu bagus.
Sehubungan
dengan tindak lokusi, Leech ( dalam
Setiawan, 2005 : 19) memberikan rumus tindak lokusi. Bahwa tindak tutur lokusi
berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan
dengan suatu makna dan acuan tertentu.
Dari
batasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak lokusi hanya berupa
tindakan menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur
nilai dan efek terhadap mitra tuturnya. Berdasarkan hal ini maka tindak lokusi
terbagi menjadi tiga tipe, yaitu :
a. naratif
Naratif dapat diartikan sebagai
bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan
dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu keadaan waktu.
Naratif adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan
sejelas-jelasnya kepada pembaca atau mitra tutur suatu peristiwa yang telah
terjadi . naratif hanya berusaha menjawab suatu pertanyaan “ Apa yang telah terjadi ” ( Keraf dalam
Setiawan, 2005 : 20 )
b. Deskriptif
Keraf
( Dalam Setiawan, 2005 : 20) mendefinisikan deskriptif sebagai suatu bentuk
wacana yang bertalian dengan usaha perincian dari obyek-obyeknya yang
direncanakan, penutur memudahkan pesan-pesannya, memindahkan hasil pengamatan
dan perasaan kepada mitra tutur, penutur menyampaian sifat dan semua perincian
wujud yang dapat ditemukan pada obyek tertentu.
c. Informatif
Kridalaksana (dalam Setiawan, 2005 : 21) mendefinisikan
informative sebagai bentuk wacana yang mengandung makna yang sedemikian rupa
sehingga pendengar atau mitra tutur menangkap amanat yang hendak disampaikan.
Tindak informative selalu berhubungan dengan makna referensi
yaitu makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar
angkasa ( obyek atau gagasan ), dan yang dapat
dijelaskan oleh analisis komponen ( Kridalaksana dalam Setiawan, 2005
: 21 )
2.2.2
tindak tutur ilokusi
Berbeda
dengan tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang
mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak tutur ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena
tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana
tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya.
Tindak
ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur ( Wijana 1996:19 ). Tindak ilokusi
disebut sebagai The Act of Doing
Something.
Leech (dalam Rustono 1999 : 38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya
Leech (dalam Rustono 1999 : 38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya
Lubis
(dalam Setiawan, 2005 : 22) memberikan definisi lebih rinci dengan beberapa
batasan mengenai tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji,
pertanyaan, permintaan maaf dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan
bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan.
Subyakto-Nababan
(Dalam Setiawan, 2005 : 22) menambahkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak
bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisif. Tindak
ilokusi merupakan tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap
dengan kata-kata kerja : menyuruh, memaksa, mendikte kepada dan sebaginya.
Contoh :
( 1 ) “ Nasi pecel pak ali itu enak
“
( 2 ) “ Jalan disana licin “
( 3 ) “ dirumah itu banyak setanya “
Dari
beberapa contoh di atas dapat disimpulkan : tuturan ( 1 ) yang dituturkan oleh
penutur kepada mitra tuturnya tidak semata-mata memberi tahu, tetapi juga
mempunyai maksud bahwa penutur mengajak mitra tuturnya intuk bersama-sama makan
nasi pecel Pak ali. Tuturan (2) dan (3) juga tidak semata-mata memberitahukan,
tetapi mempunyai maksud menyarankan agar berhati-hati karena jalan di sana
licin, dan menakut-nakuti agar mitra tutur tidak pergi ke rumah itu.
Bach dan
Harnish ( Dalam Setiawan, 2005 : 22-25) menyatakan bahwa dalam klasifikasi
tindak ilokusi dapat dibagi menjadi 4 golongan besar yaitu :
1.
Konstantif
Merupakan ekspresi kepercayaan yang
dibarengi dengan ekspresi maksud sehingga mitra tutur membentuk (memegang)
kepercayaan yang serupa. Konstantif dibagi menjadi beberapa tipe, yakni :
a. asertif (menyatakan)
b. prediktif (meramalkan)
c. retroaktif (memperhatikan)
d. deskriptif (menilai)
e. askriptif (mengajukan)
f. informative (melaporkan)
g. konfirmatif (membuktikan)
h. konsesif (mengakui, menyetujui)
i.
retraktif
(membantah)
j.
asentif (menerima)
k. disentif (membedakan)
l.
disputative
(menolak)
m. responsive (menanggapi)
n. sugestif (menerka)
o. supposif (mengasumsikan).
2.
Direktif
Direktif
mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap
mira tutur. Direktif dapat dibagi menjadi 6 tipe yaitu :
a. requestif ( meminta )
b. question ( bertanya )
c. requitment
( menginstruksikan )
d. Probibitives ( melarang )
e. Promissives ( menyetujui )
f. Advisories ( menasehati )
3.
Komisif
Komisif
merupakan tindak mewajibkan seseorang atau menolak mewajibkan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang dispesifikasi dalam isi proposisinya, yang bisa juga
menspesifikasikan kondisi-kondisi tempat, isi itu dilakukan atau tidak harus
dilakukan.
Komisif
dibagi menjadi 8 yaitu :
a. Promises ( menjanjikan )
b. contract ( membuat janji bersyarat )
c. bet ( berjanji melakukan sesuatu )
d. swearthat ( berjanji bahwa yang
dikatakannya adalah benar )
e. surrender ( mengaku salah )
f. invite ( permohonan kehadiran dengan janji )
g. offer ( menawarkan )
h. volunteer ( menawarkan pengabdian )
4.
Acknowledgment
Acknowledgment mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur baik
yang berupa rutinitas atau yang murni. Acknowledgment dapat dibagi menjadi
beberapa tipe, yakni :
a. Apologize ( permintaan maaf )
b. Condole ( ucapan ikut berduka )
c. Bid ( harapan )
d. Greet ( mengucapkan )
e. Accept ( penerimaan )
f. Reject ( menolak )
g. congratulate ( mengucapkan selamat )
2.2.3
tindak tutur perlokusi
Tindak
perlokusi disebut sebagai “ The Act of Affecting
Someone “. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali
memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang
mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja
ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan
mengujarkan sesuatu itulah oleh Austin (1962 dalam Rustono 1999:38) sebut
tindak perlokusi.
Menurut
Wijana (dalam Setiawan, 2005 : 25) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang
pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur.
Subyakto-Nababan
(dalam Setiawan, 2005 : 25) memberian definisi mengenai tindak perlokusi, yaitu
tindak bahasa yang dilkakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang
lain.
Rustono
(1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan
(1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa
ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung
maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh
atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan
perilaku nonlinguistic ( Chaer 1995:70)
contoh tindak tutur perlokusi :
1.
“
saya tidak punya uang pak ! “
2.
“
Kemarin saya terlambat ! ”
3.
“
Ada pencuri ! ”
Dari
berbagai contoh di atas dapat disimpulkan bahwasanya : tuturan (1) yang
diujarkan seorang anak kepada ayahnya bermakna tidak hanya memberitahu tetapi
juga sekaligus meminta uang, efek yang terjadi sang ayah akan merasa iba dan
memberikan uang kepada anaknya sama halnya dengan tuturan (2) yang dituturkan
oleh seorang karyawan kepada atasannya, tidak hanya memberitahu, tetapi juga
minta maaf atas keterlambatannya yang berefek sang atasan tidak jadi
marah-marah. Tuturan (3) yang dituturkan seseorang kepada tetangganya bisa
bermakna menyarankan agar tetangganya lebih waspada, efeknya tetangga akan
merasa khawatir. Tuturan yang mengandung tindak perlokusi mempunyai ‘fungsi’
yang mengakibatkan efek terhadap mitra tutur atas
Leech
(dalam Rustono 1999:39) menjelaskan terdapat beberapa verba yang menandai
sekaligus menjadi fungsi tindak perlokusi. Beberapa verba tersebut antara lain
membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan,
melegakan, mempermalukan, menarik perhatian dan sebagainya. Tuturan berikut
adalah tindak tutur perlokusi yang masing-masing mempunyai efek pada mitra
tutur.
Tindak
lokusi dan ilokusi juga dapat masuk dalam kategori tindak perlokusi bila
memiliki daya ilokusi yang kuat yaitu mampu menimbulkan efek tertentu bagi
mitra tutur.
Verba
tindak ujar yang membentuk tindak perlokusi, diantaranya dapat dipisahkan dalam
tiga bagian besar, yakni :
a.
Mendorong
mitra tutur mempelajari bahwa : meyakinkan, menipu, memperdayakan, membohongi,
menganjurkan, membesarkan hati, menjengkelkan, mengganggu, mendongkolkan,
menakuti, memikat, menawan, menggelikan hati.
b.
membuat
mitra tutur melakukan, mengilhami, mempengaruhi, mencamkan, mengalihkan,
mengganggu, membingungkan.
c.
membuat
mitra tutur memikirkan tentang : mengurangi ketegangan, memalukan, mempersukar,
menarik, perhatian, menjemukan, membosankan. (dalam Setiawan, 2005 : 25-26)
tuturan yang diujarkan. Dengan demikian tindak tutur
perlokusi menekankan hasil dari suatu tuturan (Suyono 1990:8 )
ringkasnya, apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3
jenis tindakan atau tindak tutur ( selanjutnya disingkat TT ), yaitu lokusi,
ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang
melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi ( melakukan
tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam
mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan
sesuatu). Misalnya :
tabel 1
Lokusi
|
n
mengatakan kepada t bahwa X. (merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan
serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang
merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
|
Ilokusi
|
Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts)
bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti
bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk
melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian
mengatakan Saya menolak bahwa X sama halnya menolak
bahwa X.)
|
Perlokusi
|
Dengan mengatakan X, n meyakinkan
(convinces) t bahwa P. (Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi
merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang
sesuatu hanya dengan mengatakanSaya mempersuasi anda.
Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan
membuat tertawa )
|
pada dasarnya memang terdapat
perbedaan antara tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi akan tetapi Perbedaan
kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan
(request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu.
Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan
oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud
penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi ( lihat
Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).
Begitu juga jika kita
mengidentifikasi sebuah kalimat, agaknya
kita juga kesulitan dalam mengenali apakah kalimat tersebut berupa lokusi,
ilokusi maupun perlokusi jika tidak berhadapan langsung dengan seorang penutur
yang menuturkan kalimat tersebut dan juga keadaan / suasana pada saat kalimat itu
dituturkan. Misalnya dalam sebuah kata “ tempat
itu jauh “. Kalimat tersebut bias saja berupa lolusi, ilokusi maupun
perlokusi.
Tabel 2
( lokusi, ilokusi dan perlokusi )
Lokusi
|
Ilokusi
|
Perlokusi
|
Tempat
itu jauh.
|
Tempat
itu jauh.
|
Tempat
itu jauh.
|
mengandung
pesan.
|
metapesan
‘Jangan pergi ke sana!’
|
metapesan
(Dalam pikiran mitratutur ada keputusan) “Saya tidak akan pergi ke sana.”
|
Dari tabel diatas jelaslah bahwa perbedaan antara tindak
tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi cenderung lemah jika diuraikan dalam sebuah
kalimat saja tanpa mendengar ucapan lingual
dari seorang penutur dan juga setting pada saat penutur menuturkan
tuturanya. Namun hal ini bukan berarti tidak adanya perbedaan antara tuturan
lokusi, ilokusi dan perlokusi. Perbedaan tetap saja ada tetapi perlu juga
pemahaman yang mendalam untuk mengkaji jenis tindak tutur yang dikemukakan oleh
Austin tersebut.
2.3 Teori
tindak tutur Searle ( 1975 ) “ representative, direktif, ekspresit, komisif dan
deklaratif “
Menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Austin
(1962), Searle kembali membahas mengenai teori tindak tutur ( 1975 ). Apabila
Austin membagi tuturan berdasarkan jenisnya menjadi tiga jenis, yaitu tuturan
lokusi, ilokusi dan perlokusi, maka Searle (dalam Suyono 1990:5) mengembangkan
jenis tuturan berdasarkan kategorinya menjadi lima, yaitu antara lain (1)
tindak tutur representatif (asertif), (2) tindak tutur direktif, (3) tindak
tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) deklaratif (isbati). Kelima
tindak tutur tersebut dijabarkan sebagai berikut :
2.3.1
tindak tutur representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, jenis tindak tutur
tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam
jenis tindak tutur ini antara lain tuturan yang menyatakan, menuntut, mengakui,
melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dan
sebagainya.
Contoh :
a.
“
saya suka makan ikan asin “
b.
“
besok hari pahlawan “
c.
“
SBY presiden Indonesia “
Tuturan (a) merupakan tindak tutur representatif karena
penutur mengakui bahwa dirinya suka makan ikan asin, hal tersebut mengikat
penuturnya akan kebenaran isi tuturan tersebut. Demikian pula dengan tuturan
(b) dan (c), tuturan (b) merupakan tuturan pernyataan bahwa besok hari
pahlawan, sedangkan tuturan (c) merupakan tuturan menyebutkan SBY presiden
Indonesia.
2.3.2
tindak tutur direktif
Tindak tutur direktif disebut juga tindak tutur imposif,
yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan
tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang
termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan memaksa, mengajak,
meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan
aba-aba atau menantang.
Contoh :
a.
“
berikan laptop itu “
b.
“
silahkan masuk “
c.
“
tolong buka pintunya “
Dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa :
tuturan (a) termasuk tuturan direktif karena tuturan tersebut dimaksudkan
penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan memberikan laptop yang dipegang
oleh mitra tuturnya. Demikian juga dengan tuturan (b) dan (c) masing-masing
dimaksudkan untuk menyuruh mitra tuturnya untuk melakukan apa yng disebutkan
oleh penutur.
2.3.3
tindak tutur ekspresif
Tindak tutur ekspresif bisa juga disebut dengan tindak tutur
evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang
disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan
ekspresif tersebut antara lain tuturan memuji, mengucapkan terimakasih,
mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung.
Contoh :
a.
“ Bagus sekali jawabanmu, hanya masih kurang
spesifik “
b.
“ Terimakasih atas sanjunganmu “
c.
“ Sudah bekerja keras tapi gaji tidak naik
Dari berbagai contoh di atas dapat disimpulkan bahwa :
tuturan (a) merupakan tindak tutur ekspresif berupa pujian yang memiliki maksud
agar mitra tutur dapat memperbaiki jawaban yang dinilai kurang spesifik.
Demikian pula dengan tuturan (b) dan (c) masing-masing memiliki maksud agar
mitra tutur tidak memuji penutur terlalu berlebihan dan tuturan (d) merupakan
keluhan terhadap apa yang selama ini telah dikerjakannya.
2.3.4
tindak tutur komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan
yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan berjanji,
bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul.
Contoh :
a.
“
saya akan segera datang ke rumah mu “
b.
“
saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal itu ”
c.
“Awas
kalau kamu berani berbohong “
Tuturan (a) adalah tindak komisif berjanji yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan apa yang diucapkan bahwa penutur akan segera
datang ke rumah mitra tutur. Demikian juga dengan tuturan (b) dan (c)
masing-masing merupakan tindak tutur komisif bersumpah bahwa penutur tidak
melakukan hal yang dituduhkan dan tuturan (c) merupakan tuturan mengancam mitra
tutur.
2.3.5
tindak tutur deklaratif
Tindak tutur deklarasi disebut juga tindak tutur isbati,
tindak tutur tersebut merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya.
Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini berupa tuturan dengan maksud
mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan,
mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. Contoh :
a.
“
kamu jangan keluar rumah ya, nak “
b.
“
Besok aku tidak jadi ke sana ”
c.
“
Anda boleh mengajukan lamaran ”
dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa :
tuturan (a) merupakan tuturan deklaratif melarang agar mitra tutur tidak keluar
dari rumah, demikian juga dengan tuturan (b) dan (c) masing-masing memiliki
maksud membatalkan janji dengan mitra tutur dan mengizinkan mitra tutur untuk
mengajukan lamaran.
2.4 teori
tindak tutur dalam wijana ( 1996 : 4 )
Tuturan yang bermodus deklaratif dapat mengandung arti yang
sebenarnya dan berfungsi untuk menyampaikan informasi secara langsung. Wijana
(1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur
langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur
tidak literal yang akan dijabarkan sebagai berikut :
2.4.1
tindak tutur langsung
Secara umum tindak tutur langsung adalah tuturan yang
digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat Tanya
digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk
memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan
perintah, ajakan, atau permohonan.
Contoh
:
1.
“
kapan ayah pulang “
2.
“
saya pergi ke ladang “
3.
“
tolong ambilkan sapu “
Dari berbagai contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa
: tuturan-tuturan tersebut merupakan
tuturan langsung karena digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya,
yaitu bahwa tuturan (1) digunakan untuk bertanya, tuturan (2) digunakan untuk
memberitahukan bahwa penutur pergi ke ladang dan tuturan (3) digunakan untuk
menyatakan perintah.
Agar lebih jelasnya dapat dilihat dalam table berikut :
Tabel 3
( contoh tuturan langsung )
Berita
|
Tanya
|
Perintah
|
Adiknya sakit
|
Dimana laptop saya
|
Pergi !
|
Informasi
|
ya,
tidak (apa, intonasi) informasi (apa, siapa, di mana, kapan, ke mana, untuk
apa, dsb.)
|
larangan,
ajakan, dan perintah biasa
|
Tuturan
langsung
(direct
speech)
|
Tuturan
langsung
(direct
speech)
|
Tuturan
langsung
(direct speech)
|
2.4.2
tindak tutur tidak langsung
Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang
digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu
apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita
digunakan untuk bertanya dan sebagainya.
Contoh :
1. “
kapan kamu pulang ? “
2. “ Sudah malam, besok ketemu lagi ”
3. “ Besok ke sini lagi ya! ”
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut : tuturan (1), (2) dan (3) merupakan tuturan tak
langsung, yaitu bahwa tuturan (1), (2) dan (3) masing-masing digunakan untuk
menyuruh mitra tuturnya agar segera pulang dengan menggunakan kalimat tanya,
kalimat berita dan kalimat perintah.
Berdasarkan penjelasan di atas
antara tindak tutur langsung dan tidak langsung, skema penggunaan modus kalimat
dalam kaitanya dengan kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai
berikut :
Tabel
4
Modus
|
Tindak tutur
|
|
Langsung
|
Tidak langsung
|
|
Berita
|
Memberitakan
|
Menyuruh
|
Tanya
|
Bertanya
|
Menyuruh
|
Perintah
|
Memerintah
|
-
|
2.4.3
tindak tutur literal ( literal
speech act )
tindak tutur literal ( literal
speech act ) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan kata-kata yang
menyusunya.
Contoh :
1. “ tutup mulut mu “
2. “ makan hati “
3. “ Tangan kananya “
Berdasarkan contoh di atas dapat
disimpulkan : tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan literal, yaitu bahwa
pada tuturan (1) yang dimaksud dengan tutup mulut adalah menutup mulut dengan
tangan ketika menguap, sedangkan tuturan (2) dan (3) masing-masing memiliki
makna makan hati ayam dan tangan yang sebelah kanannya.
2.4.4
tindak tutur tidak literal ( non
literal speech act )
Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya.
Contoh :
a. “ Orang itu tinggi hati ”
b. “ Pejabat itu menerima suap ”
c. “ ia dijadikan kambing hitam “
Dari beberapa contoh di atas dapat
disimpulkan : tuturan-tuturan tersebut merupakan kata yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya, yaitu
bahwa kata “ tinggi hati ” dalam tuturan (a) memiliki
makna bahwa orang yang dibicarakan adalah orang yang sombong dan merasa lebih
mulia dari yang lain, maka digunakan kata tinggi hati. Kata “suap” dalam tuturan
(b) memiliki makna uang sogok, yaitu uang yang diberikan kepada pejabat atau
orang yang berwenang mengurus perkara sebagai sarana untuk melancarkan
maksudnya dalam arti negatif dan kata “kambing hitam” pada tuturan (c) memiliki
maksud orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, namun
dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan atau lebih jelasnya orang yang
dilimpahi kesalahan orang lain.
Apabila tindak tutur langsung dan
tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka
akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
a.
tindak
tutur langsung literal ( direct literal
speech act )
tindak tutur langsung literal (direct literal speech act),
ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama
dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat
perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan
kalimat tanya.
Contoh :
a. ambilkan buku itu
b. indriani gadis yang cantik
c. berapa saudaramu di ?
b.
Tindak
tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act)
Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang
diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh penutur.
Contoh :
“ lantainya kotor
“
Kalimat tersebut jika diucapkan oleh seorang ayah kepada
anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk
membersihkannya.
“ kamarnya berantakan “
Kalimat / tuturan tersebut jika diucapkan seorang ibu kepada
anaknya bukan hanya berisi informasi saja, akan tetapi sekaligus menyuruh untuk
membersihkan kamar yang berantakan.
c.
Tindak
tutur langsung tidak literal (direct non literal speech)
Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang
diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi
kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud
penuturnya.
Contoh : “ Sepedamu
bagus, kok ”
Penuturnya sebenarnya
ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
d.
Tindak
tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)
Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang
ingin diutarakan.
Contoh : “ lantainya bersih sekali, bik “
Kalimat di atas dapat
digunakan untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan
dapat saja mengutarakannya dengan kalimat seperti yang di atas.
Dari masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung,
literal, dan tidak literal) apabila disinggungkan (diinterseksikan) dapat
dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut :
1. Tindak tutur langsung
2. Tindak tutur tidak langsung
3. Tindak tutur literal
4. Tindak tutur tidak literal
5. Tindak tutur langsung literal
6. Tindak tutur tidak langsung literal
7. Tindak tutur langsung tidak literal
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
agar lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh berikut, misalnya pada kalimat “ radionya kurang keras “
1. Tindak tutur langsung
2. Tindak tutur tidak langsung
3. Tindak tutur literal
4. Tindak tutur tidak literal
5. Tindak tutur langsung literal
6. Tindak tutur tidak langsung literal
7. Tindak tutur langsung tidak literal
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
agar lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh berikut, misalnya pada kalimat “ radionya kurang keras “
Tabel 5
Tindak tutur langsung
|
“ radionya kurang keras “
|
Betul-betul kurang keras
|
Tindak tutur tidak langsung
|
Keraskan radionya
|
|
Tindak tutur literal
|
Betul-betul kurang keras
|
|
Tindak tutur tidak literal
|
Suara radionya keras sekali
|
|
Tindak tutur langsung literal
|
Betul-betul kurang keras
|
|
Tindak tutur tidak langsung literal
|
Keraskan radionya
|
|
Tindak tutur langsung tidak literal
|
Suara radionya keras sekali
|
|
Tindak tutur tidak langsung tidak
literal
|
Matikan
|
3. Klasifikasi
tindak tutur ( austin, searle dan leech )
Dalam mempelajari suatu tindak tutur ada beberapa
klasifikasi tindak tutur yang disampaikan oleh beberapa ahli dianataranya
adalah Austin, Searle, dan Leech,
seperti yang diuraikan di bawah ini :
3.1 klasifikasi
tindak tutur Austin
Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu,
dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena pada umumnya
ujaran yang merupakan tindak tutur mempunyai kekuatan-kekuatan. Berdasarkan hal
tersebut, Austin membedakan atau mengklasifikasi tindak tutur menjadi tiga
aspek / kekuatan (May,1996). Ketiga aspek tindak tutur tersebut adalah sebagai
berikut :
a.
Kekuatan
lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu.
b.
Kekuatan
ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai
perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya.
c.
Kekuatan
perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra
tutur), baik yang nyata maupun yang diharapkan.
Ketiga kekuatan di atas dapat dicontohkan dalam sebuah
tuturan berikut. Seseorang tuan rumah
menyampaikan tuturan kepada tamunya ketika jam sudah menunjukkan pukul 9 malam,
“ Sudah pukul 9 mas.” Lokusi kalimat itu menginformasikan bahwa saat itu sudah
pukul 9 malam. Akan tetapi, sebagai sebuah ilokusi, tuturan itu memiliki tujuan
memerintah agar sang tamu segera pulang karena sudah malam, dapat dikatakan
tuturan itu sebagai perintah. Perlokusinya dapat membuat sang tamu segera berpamitan
dan diwujudkan dengan tuturan tanggapan seperti “Ya, saya pulang”, “Ya,
sebentar lagi.”, dan sebagainya.
Pujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya merupakan
fungsi tindak tutur. Hal ini menunjukan bahwa pada tindak ilokusi itu, dalam
hal tertentu, melekat fungsi tindak tutur yang melekat dalam tuturan
(Sumarsono, 2002:323). Kekuatan ilokusi inilah yang banyak digeluti oleh ahli
tindak tutur (peneliti), meskipun dari sudut pandang pragmatik, aspek perlokusi
adalah yang paling menarik untuk dikaji.
Sebagian besar ahli tindak tutur mengatakan bahwa
klasifikasi yang disampaikan Austin terlalu abstrak dan belum memberikan
taksonomi yang jelas. Searle (1975) mengatakan antara lain bahwa dalam hasil
kerja Austin masih terdapat hal yang yang membingungkan, yaitu definisi tindak
tutur yang diberikannya terlalu luas. Kemudian, dalam skema klasifikasinya
terdapat kategori yang tumpang tindih, seperti tindak tutur menjelaskan pada
saat yang sama merupakan bagian dari kategori berbeda, yaitu dapat digolongkan dalam
verdikatif dan ekspositif. Levinson (1985) menambahkan bahwa tindak tutur
lokusi dan ilokusi memang bisa dideteksi sehingga studi makna kalimat dapat
dilakukan secara lepas. Namun, yang tidak jelas dari teori tersebut adalah
perbedaan tindak ilokusi dan perlokusi.
Menurut Levinson,
berdasarkan kondisionalnya, tuturan (1) di bawah ini dapat memiliki daya
ilokusi, yaitu menyuruh, mendesak, menyarankan seseorang untuk memiliki
pengaruh perlokusi, yakni meyakinkan atau mengancam seseorang untuk memukul dia.
Tuturan (2) pun dapat memiliki daya ilokusi untuk memprotes, namun juga
memiliki akibat perlokusi, yakni pengecekan tindakan kepada seseorang atau
dapat juga bermakna memarahi.
(1) Pukul dia!
(2) Kamu pasti bisa melakukannya.
Karena adanya berbagai kekurangan pada teori tindak tutur
Austin, upaya-upaya untuk mengadakan klasifikasi secara lebih cermat telah
banyak dilakukan para ahli tindak tutur. Dalam kaitan ini, klasifikasi tindak
tutur yang disampaikan adalah dilakukan oleh Searle, Leech , dan rangkuman klasifikasi
tindak tutur dari berbagai ahli tindak tutur.
3.2 Klasifikasi
Tindak Tutur Searle
Teori tindak tutur yang yang dikembangkan Searle dipandang
lebih konkret oleh beberapa ahli. Searle menggunakan ide-ide Austin sebagai
dasar mengembangkan teori tindak tuturnya. Bagi Searle (l969:16), semua
komunikasi bahasa melibatkan tindak. Unit komunikasi bahasa bukan hanya
didukung oleh simbol, kata atau kalimat, tetapi produksi simbol, kata, atau
kalimat dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat yang berada pada
kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan merupakan
unit-unit minimal komunikasi bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, pada
awalnya Searle membagi tindak tutur menjadi empat jenis, yakni :
a.
tindak
ujaran (utterance act), yaitu kegiatan menuturkan kata-kata sehingga unsur yang
dituturkan berupa kata atau morfem.
b.
tindak
proposisional (propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat.
c.
tindak
ilokusi (Ilocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat, tetapi sudah
disertai disertai tanggung jawab penutur untuk melakukan suatu tindakan.
d.
tindakan
perlokusi (perlocutionary act), yaitu tindak tutur yang menuntut mitra tutur
untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Dalam perkembangannya, Searle (1975) mengembangkan teori
tindak tuturnya terpusat pada ilokusi. Pengembangan jenis tindak tersebut
berdasarkan pada tujuan dari tindak, dari pandangan penutur. Secara garis besar
pembagian Searle adalah sebagai berikut, seperti yang sudah dijelaskan di atas
( pada poin teori tindak tutur ) antara lain :
a.
Asertif
(Assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi
yang diungkapkan, misalnya,
menyatakan, mengusulkan, membuat, mengeluh, menge- mukakan pendapat, dan
melaporkan.
b.
Direktif
(Directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh penutur;
misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat.
c.
Komisif
(Commissives): pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya,
menjanjikan, menawarkan. Jenis ilokusi ini
cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena
tidak mengacu pada kepentingan
penutur, tetapi pada kepentingan petutur (mitra tutur).
d.
Ekspresif
(Expressive): fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang
tersirat dalam ilokusi, misalnya:
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
memuji, mengucapkan belasungkawa, dan
sebagainya.
e.
Deklarasi
(Declaration): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian
antara isi proposisi dengan realitas, misalnya: mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/
membuang, mengangkat, dan sebagainya.
3.3 Klasifikasi
Tindak Tutur Leech
Seperti halnya Searle, Leech juga mengkritisi tindak tutur
yang disampaikan Austin. Dia mempersoalkan penggunaan kata kerja tindak tutur
Austin yang cenderung hanya melihat kata kerja dalam bahasa Inggris berhubungan
satu lawan satu dengan kategori tindak tutur. Leech mengatakan bahwa dalam
klasifikasi Austin ke dalam verdikatif, eksersitif, komisif, behabit, dan
ekspositif mengandung kesalahan kata kerja ilokusi (Lihat Leech, 1983:176).
Menurut Leech, situasi berbeda
menuntut adanya jenis-jenis kata kerja berbeda dan derajat sopan santun yang
berbeda juga. Pada tingkat yang paling umum fungsi ilokusi dapat dibagi menjadi
empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan
sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Klasifikasi
fungsi ilokusi Leech adalah sebagai
berikut :
a.
Kompetitif
(Competitif), tujuan ilokusi
bersaing dengan tujuan sosial, misalnya: memerintah, meminta, menuntut, mengemis.
b.
Menyenangkan
(convivial), tujuan ilokusi
sejalan dengan tujuan sosial,
misalnya:
menawarkan/mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat.
c.
Bekerja
sama (collaborative), tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial,
misalnya: menyatakan, melapor, mengumumkan, dan
mengajarkan.
d.
Bertentangan
(conflictive), tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya: mengancam, menuduh, menyumpahi, dan
memarahi.
Di antara keempat jenis ilokusi ini yang melibatkan sopan
santun ialah jenis pertama (kompetitif)
dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi yang berfungsi kompetitif, sopan
santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan
yang tersirat dalam kompetisi apa yang ingin dicapai oleh penutur dan apa yang
yang dituntut oleh sopan santun. Yang disebut tujuan-tujuan kompetitif ialah
tujuan-tujuan yang pada dasarnya tidak bertata krama (discourteous), misalnya
meminta pinjaman uang dengan nada memaksa. Di sini, tata krama dibedakan dengan
sopan santun. Tata krama mengacu kepada tujuan, sedangkan sopan santun mengacu
kepada perilaku linguistik atau perilaku lainnya untuk mencapai tujuan itu.
Oleh karena itu, prinsip sopan santun dibutuhkan untuk memperlembut sifat tidak
sopan yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan itu.
Sebaliknya, jenis fungsi ilokusi yang kedua, yaitu fungsi
menyenangkan, pada dasarnya bertata krama. Pada posisi ini, sopan santun lebih
positif bentuknya dan bertujuan untuk mencari kesempatan beramah tamah. Jadi,
dalam sopan santun yang positif, berarti menaati prinsip sopan santun, misalnya
bahwa apabila ada kesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, kita harus
melakukannya. Jenis fungsi yang ketiga, yaitu fungsi ilokusi bekerja sama,
tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun tidak
relevan. Sebagian besar wacana tulisan masuk dalam kategori ini.
Dalam jenis fungsi ilokusi yang keempat, yaitu fungsi
bertentangan, unsur sopan santun tidak ada sama sekali karena fungsi ini
bertujuan untuk menimbulkan kemarahan. Mengancam atau menyumpahi orang
misalnya, tidak mungkin dilakukan dengan sopan, kecuali penutur menggunakan
eufemisme (penghalus). Agaknya dalam proses sosialisasi, si anak belajar
menggantikan komunikasi yang konfliktif dengan jenis komunikasi lain, khususnya
dengan jenis kompetitif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam situasi
yang normal, pengaruh linguistik yang konfliktif cenderung bersifat marginal
dan tidak memegang peranan yang penting.
Untuk itu, dalam membicarakan perilaku linguistik yang sopan
dan tidak sopan, perhatian akan dipusatkan khusus pada ilokusi kompetitif dan
ilokusi menyenangkan, dan pada kategori-kategori sopan santun yang negatif dan
positif pada ilokusi-ilokusi tersebut.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. teori tindak tutur pertama kali
dikemukakan oleh Austin ( 1956 ),
seorang guru besar di Universitas Harvard
2. tindak tutur ( speech act ) terikat
oleh situasi tutur yang mencakup : penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan
tuturan, tindak tutur sebagai tindakan atau aktifitas dan tuturan sebagai hasil
tindakan bertutur.
3. Hal yang dapat ditindakkan di dalam
berbicara ( tuturan ) antara lain : permintaan ( request ), pemberian izin ( permissions
), tawaran ( offers ), Ajakan ( invitation ), penerimaan akan tawaran (
acceptation of offers )
4.
Tindak
tutur atau “ pertuturan “ / “ speech act , speech event “ ( istilah krida
laksana ) adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari
pembicara dapat diketahui oleh pendengar ( Kridalaksana, 1984: 154 )
5.
Austin
(1962) mengklasifikasikan tindak tutur yang bermodus deklaratif menjadi dua,
yaitu tindak tutur konstantif dan performatif.
6.
Austin dan searle menyempurnakan teori
tindak tutur menjadi tiga yaitu : lokusi, ilokusi dan perlokusi
7.
Searle ( 1975 ) mengembangkan tuturan
berdasarkan kategorinya antara lain : tindak tutur representatif (asertif), tindak tutur direktif,
tindak tutur ekspresif, tindak tutur komisif, deklaratif (isbati).
8.
Wijana
(1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur
langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur
tidak literal
9.
Sebagian
besar ahli tindak tutur mengatakan bahwa klasifikasi yang disampaikan Austin
terlalu abstrak dan belum memberikan taksonomi yang jelas, sedangkan yang
dianggap lebih konkrit adalah klasifikasi tindak tutur menurut searle
DAFTAR PUSTAKA
Austin, John L. 1962. How
to Do Things with Word (diterjemahkan oleh oka ). Jakarta : balai pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta : Balai Pustaka
Gunarwan, Asim. 1994. Pragmatik.
Jakarta : Universitas Indonesia
Gunarwan, Asim. 2004. Dari
Pragmatik ke Pengajaran Bahasa ( Makalah Seminar Bahasa dan sastra
Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip
Pragmatik (Diterjemahkan oleh Oka). Jakarta: Balai Pustaka
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press
Suwito. 1983. Pengantar
Awal Sosiolinguistik, teori dan Problema. Surakarta: Henry